Pagi itu udara sejuk memenuhi setiap jengkal ruang di Jatiluwih. Mentari mengintip dari balik bukit dan kabut tipis. Sinarnya yang malu-malu masih belum cukup untuk menghangatkan suhu di bumi Tabanan. Sawah berteras-teras mengitari bukit berselang-seling dengan rumpun pepohonan.
Di sebuah pohon di atas bukit itu, hiduplah keluarga burung gelatik jawa. Mama burung sedang membersihkan sarang. Papa burung baru saja terbang menjauh. Keempat anak mereka Riri, Ori, Ara, dan Rira sedang bercakap di sebatang ranting.
“Sebaiknya kita terbang kemana hari ini?” tanya Riri Si Sulung.
“Barat terlihat menarik. Hamparan sawahnya telah menguning. Mungkin kita bisa menemukan biji terserak atau serangga bertengger di sana.” jawab Ara.
“Boleh. Kemana saja aku mau. Aku sudah mulai lapar. Ori, ikut kita yuk!” sambut Rira.
Ori hanya terdiam. Biasanya ketika ketiga saudaranya pergi, Ori hanya tinggal di sarang menunggu Ibunya membawa makanan untuknya. Selain karena dia bungsu, Ori terlahir dengan paru-paru dan pundi udara yang tidak sekuat burung gelatik pada umumnya. Kata Bu Tabib burung, kondisi Ori akan membaik seiring umur dan latihan terbang.
Ibu dan saudara-saudaranya selalu berusaha mengajak dan mendorong Ori untuk terbang lebih tinggi serta lebih jauh. Namun Ori sering kali menolak. Dia benci ketika dia kehabisan nafas di udara. Tersengal-sengal dan naik turun mencari tempat untuk hinggap beristirahat sangatlah menyakitkan. Meskipun Ibu dan saudara-saudaranya sabar menunggunya mengumpulkan nafas dan tenaga, tetap saja Ori tidak suka menjadi penghambat perjalanan mereka. Alhasil Ori lebih banyak memilih diam di sarang dan jarang berlatih.
Melihat Ori yang tidak menjawab. Kakak-kakaknya hanya mengangkat sayap lalu terbang. “Daaaah Ori, Kita pergi dulu ya. Sampai bertemu sore nanti.” teriak Ara dari atas.
Ibunya mendekati Ori, “Ayo kita latihan terbang di sekitar sini dulu. Ibu akan menjagamu.”
Ori enggan namun tidak enak juga menolak ajakan ibunya yang sudah sangat sabar. Perlahan Ori mengembangkan sayapnya dan terbang. Ibu mengikuti di belakang. Sepanjang perjalanan Ori sibuk dengan kekesalannya sendiri. Dia sibuk merutuki nasibnya yang dirasa malang.
“Ibu, kenapa aku terlahir begini? Tidak seperti kakak-kakakku?” tanya Ori terang-terangan. Apa yang dipendamnya selama ini tak sanggup lagi ia tutupi.
Tak ada jawaban dari ibunya.
“Ah Ibuuu.” teriak Ori sambil menoleh ke belakang. Rupanya Ibunya tidak ada di belakangnya seperti biasa.
“Lho, mana Ibu? Aduh, jangan-jangan ada apa-apa!” pikir Ori.
Dia pun segera berbalik menelusuri jalur terbangnya sembari berdoa akan keselamatan ibunya. Setelah setengah jalan, Ori menemukan ibunya tak sadarkan diri di pohon.”
“Ibu!” teriaknya panik.
Dilanda kebingungan, Ori akhirnya memutuskan untuk pergi meminta bantuan kepada Bu Tabib. Sarang Bu Tabib cukup jauh dari sini. Ori merasa khawatir dia tidak akan sanggup. Namun tak ada pilihan lain. Mengejar kakak-kakaknya ke Barat lebih tidak mungkin lagi. Ori pun menguatkan hati dan terbang.
Setelah menembus hutan seberang dan tiga kali kehabisan nafas, akhirnya sampailah Ori di rumah Bu Tabib dengan peluh dan pucat. “Ori! Ada apa?” Bu Tabib menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
“Bu Tabib, tolong ibu saya tidak sadarkan di pohon magnolia di bukit timur.” ujar Ori sebelum akhirnya dia pingsan.
Mendengar itu Bu Tabib dan dua burung perawat segera pergi menuju arah yang ditunjuk. Ori yang kelelahan dirawat oleh Pak Tabib. Lima jam berlalu. Akhirnya Ori membuka mata. Ketika dia menoleh, dia melihat ibunya sedang tertidur dengan kompres di kepalanya.
“Hei, Ori. Kamu sudah sadar.” tanya Pak Tabib dengan lembut.
“Ibumu kini baik-baik saja. Berkat usahamu, kami jadi bisa menolongnya tepat waktu. Kamu gigih sekali.” terang Bu Tabib.
Ori hanya bisa menangis. Bersyukur karena ibunya selamat. Bersyukur karena dia memiliki kekuatan untuk menempuh jarak sejauh itu.
Ori akhirnya mengerti bahwa dia harus berusaha menjadi lebih kuat dan sehat. Dan itu hanya bisa dicapai dengan berlatih lebih banyak. Ori berjanji untuk meminta obat tanaman kepada Bu Tabib. Sesuatu yang bisa membantunya ketika sesak menyerang sehingga dia bisa pulih lebih cepat. Dengan begitu dia bisa lebih sering berlatih dan tidak perlu khawatir berlebih ketika terbang jauh dari sarangnya. Sehat dan kuat ini bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk keluarga yang menyayanginya dan sangat ia sayangi juga.