— ketika sedang suntuk di perpus plano
Sebenarnya aku masih heran dengan orang yang bisa berpikir linear saat mengerjakan TA (skripsi). Buatku TA adalah suatu pekerjaan simultan yang nge-loop. Aku tidak bisa menyelesaikan bab 1 tanpa aku memahami bab 2 dan bab 3. Aku tidak bisa mengerjakan analisis tanpa aku mengerti bab 2 dan bab 3. Semuanya saling berkaitan. Tiap babnya sesungguhnya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. 
Lagipula formatnya yang itu itu itu saja membuatnya terasa membosankan untuk dibaca. Aku membaca cukup banyak buku TA. Syukur-syukur kalau si mantan mahasiswa itu pandai menulis, jadi buku TA-nya terasa mengalir. Tapi jika sebaliknya, kita harus mandeg beberapa detik lebih lama untuk memahami maunya si penulis. Susah memang bahasa akademis yaa. Susah dibaca, susah ditulis.
Kadang aku berangan-angan, betapa serunya jika kita menulis TA tanpa format kaku seperti itu. Tetap runtun dan logis dalam pola pikirnya, hanya penulisannya tidak sekaku TA jaman sekarang. Aku tidak mengharapkan di dalam TA bakal ada istilah macam, gue, lo, ya gitu, dibedain, pake insentif, dan segala macam bahasa tak resmi lainnya. Mengikuti EYD itu perlu tapi bukan berarti mengkakukan diri. Bukankah akan menyenangkan jika buku kita bisa dibaca dengan ringan dan mudah dipahami oleh orang lain?
Ayolah, kita pasti sudah mengerti bahwa aspek fun and love itu perlu dipertimbangkan dalam mengerjakan sesuatu. Kalau buku yang kita tulis ataupun yang kita baca tidak terasa menyenangkan, apa jadinya?
Coba bayangkan jika kita membaca suatu naskah akademis yang mengalir. Sebut saja Death & Life of American Cities, Land and The City, dsb. Mereka menulis dengan ringan. Apa yang mereka maksudkan pun tersampaikan. Betapa informatif dan menyenangkannya buku macam itu!
Don’t you want to make (at least) one like that? I want to!