“I wanna shove him into a soundproof box and just let him cry cry cry all he wants. Or just kill me noooowww god!”

Rania mengetik singkat di Evernote handphone-nya. Dia masukkan tulisan itu ke dalam folder “Unsaid“. Jam dua malam. Musa yang masih berumur 10 bulan mulai tenang dan kembali tertidur. Satu dua jam kemudian dia akan kembali menangis karena apapun, lapar, haus, ingin menyusu, ganti popok, mimpi buruk. Di kamar sebelah, suami dan putri 3 tahunnya terlelap. Rania merasa kesepian harus menghadapi semua kerepotan bayi baru dengan special needs sendirian. “Night time is the worst! Since I have this baby, it is division of labour. No more teamwork like when we had our first child! I’m sick of it!” kutuknya dalam hati.

Rangga adalah suami, ayah, dan pemimpin yang pengertian. Namun, sejak Rania merasa depresi, Rangga pun menjadi dingin dan menjauh. Percakapan mereka hanya sebatas logistik anak dan keluarga. Sudah hampir 2 tahun mereka tidak lagi membahas visi, arah, dan evaluasi keluarga. Mungkin dia pun kebingungan dengan energi negatif yang akhir-akhir ini keluar dari istrinya.

Rania pun merasa dirinya tak seperti dulu sejak melahirkan Musa. Proses Musa tergolong sulit bila dibanding Kristal, anak pertamanya; operasi, HCU, dan rasa sakit yang panjang. Musa pun mengalami prematur, berat badan lahir rendah, henti nafas, sepsis, dan inkubator. Sejak saat itu, Rania tidak lagi menikmati hobinya membaca dan menulis. Ketika senggang sejenak, Rania malah window shopping di marketplace. Kebiasaan baru yang tidak berguna. Menumpuk barang di cart walau tak pernah check out karena tak ingin besar pasak daripada tiang. Tetapi entah mengapa membuatnya merasa sedikit lebih baik.

Malam itu Rania teringat percakapannya dengan dr. Fitri siang tadi,

“Anak Ibu mengalami Global Developmental Delay. Artinya, dia mengalami keterlambatan di lebih dari satu ranah tumbuh kembang. Setelah ini kita akan melakukan beberapa tes untuk mengetahui penyebabnya. Sambil menunggu rangkaian tes ini, kita bisa mulai melakukan intervensi terapi, seperti wicara, sensori integrasi, fisioterapi.” terang dr.Fitri di ruang praktiknya.

Rania hanya terdiam. Kekhawatirannya selama ini menjadi kenyataan. Anak laki-laki yang digadang-gadang untuk menjadi penerus Rangga or even better, rupanya berkebutuhan khusus. Oh the grief no one knows; the lost of the perfect child. Musa dan pengasuhnya sedang memainkan balok-balok busa ditemani terapis.

“Ibu pekerjaannya apa?” tanya dr.Fitri memupus jeritan hati Rania.

“Saya ibu rumah tangga.” jawab Rania singkat.

“Pendidikan terakhir Ibu apa?”

“Sebenarnya S2..” Rania terbayang kembali musim gugur favoritnya di New York.

Merasa ada yang berbeda, dr. Fitri kembali bertanya dengan perlahan, “Apa Ibu baik-baik saja?”

Rania menggeleng.

“Di seberang ruangan saya, ada praktik Psikolog Klinis. Anda bisa ke sana jika butuh bantuan. Dan saya sarankan Anda berkonsultasi. Kesehatan mental Anda sebagai ibu berpengaruh terhadap kondisi keluarga Anda, terutama anak-anak Anda. Minggu depan kita ketemu lagi untuk baca hasil CT Scan otak. Jangan lupa bawa suami Anda ya. Suami Anda harus tahu kondisi Anda dan anaknya.” saran Bu Dokter bijak.

Seketika Rania merasa dimengerti untuk pertama kalinya. Dia menganguk, tersenyum, dan pergi.

Jam tiga malam, Musa kembali menangis. Rania berusaha lebih tegar.

“Nanti pagi, akan kutemui psikolog itu. Aku akan belajar dan berubah. Demi keluargaku. Demi amanah ini.” tekadnya dalam hati sambil tersenyum dan mengecup kening Musa.

Satu pemikiran pada “

Tinggalkan komentar