Selasa, 03.11.2009

secercah keberanian untuk berbagi mimpi dan harapan

Suara tangis meraung-raung layaknya sirine yang tak merdu memecah keheningan pagi, mengundang tanda tanya orang sekosan, mengganggu waktu baca koranku. Telusur punya telusur, suara tangisan itu berasal dari putra pemilik kosanku, code name Anjas. Rupanya, ayahnya meninggal di Cepu pagi ini.

Untuk Yang Akan Pergi

Kematian selalu menjadi pelajaran dan peringatan bagi mereka yang masih diberi berkah kehidupan. Suatu saat nanti di suatu tempat, kita yang masih hidup ini pasti akan mati. Sadarkah kita mengapa Allah tidak pernah membuka misteri masa depan kita kecuali satu kepastian bahwa kita pasti mati? Agar kita mempersiapkan diri. Agar kita berhati-hati bahwa orientasi hidup tak hanya untuk dunia, melainkan untuk kehidupan setelah mati. Allah tidak membocorkan rahasia kapan dan dimana kita akan mati tetapi Allah memberi kita kesempatan untuk memilih, bagaimana kita akan mati. Husnul khotimah? Su’ul khotimah? Itu pilihan kita, dengan ridho Allah.

Dikala aku dimandikan
Aku menyadari
Betapa pentingnya memelihara kesehatan jasmani

Dikala aku dibungkus kain kafan
Aku menyadari
Betapa pentingnya memelihara kehormatan diri

Dikala aku disholatkan
Aku menyadari
Betapa pentingnya memelihara pengabdian diri

Dikala aku diantarkan kepemakaman
Aku menyadari
Betapa pentingnya memelihara silaturahmi dan persahabatan

Dikala aku dikuburkan
Aku menyadari
Betapa pentingnya memelihara rasa tanggung jawab

Dikala aku ditangisi sanak dan famili
Aku menyadari
Betapa pentingnya menangisi diri

Dikala aku ditinggal sendiri
Aku menyadari
Betapa pentingnya mendekatkan diri pada Ilahi

Dikala aku terkujur dalam kegelapan
Aku menyadari
Betapa pentingnya mencari cahaya ilmu

Bagi Yang Ditinggalkan

Kita mungkin ingat bahwa kita akan mati dan jangan lupakan pula bahwa orang-orang dekat kita – orang tua, sahabat, saudara, dst – juga akan mati, bisa jadi, sebelum kita. Menghadapi kepergian orang yang kita sayangi memang bukan perkara mudah, pasti ada duka terselip di dada. Tapi bagaimana kita menyikapi duka dan mempersiapkan diri menghadapi duka itu?

Sadarilah bahwa siapapun itu yang kita sayangi, adalah milik Allah. Jikalaupun kita mencintai dan dicintai seseorang, sadarilah bahwa Allah lah yang Maha Pencinta dan Dicintai. Jika dia pergi, masih ada Allah yang bisa kita cintai, yang mencintai hamba-Nya, yang kepadanya kita masih bisa menumpahkan segala keluh bahkan harapan.

Mandiri. Ini hal terpenting untuk selamat hidup di dunia. Sering kali kita menangisi seseorang karena kita amat terikat dengannya, atau bahkan amat tergantung kepadanya. Ini harus dikikis.

Kita awalnya sendiri dan akhirnya sendiri. Mereka yang berhasil adalah mereka yang meletakkan dunia di tangannya dan akhirat di hatinya. ~Pramoedya Ananta Tour

Meskipun di awal dan di akhir kita pasti sendirian, di tengah-tengah kita masih bisa bersama dan bergerombol. Mandiri bukan berarti memutus kehidupan dengan orang-orang sekitar. Bagaimanapun juga kita makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup.

 

– my unfinished writing. it’s been 2 years and never finished.

Re-write.Re-live

“Kita menulis untuk mempertinggi kepedulian kita akan hidup. Kita menulis untuk merasakan lagi kehidupan kita, dalam sebuah ingatan dan dalam sebuah kenangan kembali. Kita menulis agar kita mampu meraih hidup yang lebih bermakna, untuk meraih apa yang ada di baliknya, untuk mengajarkan diri kita bagaimana berbicara pada orang lain.”

— Anaïs Nin 

(via kuntawiaji) *berasa masih di tumblr.

Dalam upaya menambah produktivitas dan mengurangi kegejean, saya putuskan untuk kembali menulis. Yaa, meskipun di tulisan yang pertama setelah sekian lamanya ini, saya tidak melakukan sesuatu yang berarti,, tapi paling tidak saya mengetikkan beberapa patah kata di sini. Phew. Ok, baby step.

Love Me Not

I don’t want to be loved because of my eyes. They will wear out or get teary.
Then you won’t love me anymore.

I don’t want to be loved because of my smile. My lips won’t all the time make that wonderful curves. Sometimes it will pout or shout.
Then you won’t love me anymore.

I don’t want to be loved because of my critical thinking. One day I may be tired and just node to majority.
Then you wills stop loving me.

I don’t want to be loved because of my brain. Someday I may get dementia and stop thinking.
Then you will stop loving me.

I don’t want you to love me because of my divine religion, for that I have my down time.
Then you will leave me and not love me.

I want you to love me because you already ask Allah if we’re allowed to get together. When we based our love on Allah, we love each other and stand the test of time.


I feel a bit stupid to post this thing. Damn. Well, never mind, just so you know.

Gifts oleh Arashi

Pertama kali mendengar lagu ini, musiknya terdengar seperti musik-musik mellow Disney. “There must be something deep with this song,” pikirku kemudian. Dan rupanya benar, Aiba-san menyebutkan bahwa lagu ini ditujukan untuk ibu. Arashi mengenang kembali kehangatan & dukungan ibu sekaligus berpikir untuk melakukan hal yang sama kepada keluarga mereka di masa depan.

Nah, ini dia, Gifts, dari album ke-9 mereka, Boku ni Miteiru Fukei.

ギフト – Gifts

どれだけ時間が過ぎただろう 優しく僕の手を握るあなた
そんな景色が 何故か今になって 胸の深いとこ熱くする

doredake toki ga sugita darou / yasashiku boku no te wo nigiru anata
sonna keshiki ga / naze ka ima ni natte / mune no fukai koto atsuku suru

Entah sudah berapa lama sejak terakhir dirimu menggenggam tanganku dengan penuh kelembutan.
Kenangan itu entah mengapa dapat menghangatkan hatiku.

いつから大事な言葉ほど 素直に言えなくなったんだろう
ふと見つめた その背中は少しだけ 小さく思えた

itsukara daiji na kotoba hodo / sunao ni ienaku nattan darou
fu to mitsumeta / sono senaka wa sukoshi dake / chiisaku omoeta

Entah sejak kapan aku menjadi sulit berterus terang kepadamu,
Ketika sekilas kulihat dirimu dari belakang, engkau nampak semakin mungil

自分の弱さを知るたびに あなたのぬくもりを知りました

jibun no yowasa wo shiru tabi ni / anata no nukumori wo shirimashita

Setiap kali aku memahami kelemahanku, saat itu pula aku menghargai kehangatanmu.

この歌が響くようにと 届くようにと 飾らないそのままの思いを
僕がいつか誰かを 守るときがくれば あなたの手を思い出すだろう

kono uta ga hibiku you ni to / todoku you ni to / kazaranai sono mama no omoi wo
boku ga itsuka dareka wo / mamoru toki ga kureba / anata no te wo omoi dasu darou

Semoga lagu sederhana ini sampai dan menyentuhmu,
Jikalau tiba saatnya bagiku untuk melindungi seseorang, aku akan mengingat bagaimana engkau memegang tanganku.

あなたは痛みや悲しみを 決して人に見せたりしないのに
僕の弱さを 自分の痛みかのように 小さく笑った

anata wa itami ya kanashimi wo / keshite hito ni misetari shinai noni
boku no yowasa wo / jibun no itami ka no you ni / chiisaku waratta

Engkau tidak pernah menunjukkan kesedihanmu kepada orang lain,
Hanya tersenyum,
engkau menanggung kesusahanku seakan itu adalah kesusahanmu.

旅立つ僕に何度も何度も 生きる勇気をくれました

tabi datsu boku ni nando mo nando mo / ikiru yuuki wo kuremashita

Berulang kali, engkau memberiku semangat ketika aku berangkat menjalani kehidupan,

遠い街から眺めてるよ どんなときでも 確かなひとすじの思いを
夢に続くこの道 立ち止まったときは あなたの声が聞こえてくるよ

tooi machi kara nagameteru yo / donna toki demo / tashika na hitosuji no omoi wo
yume ni tsuzuku kono michi / tachi domatta toki wa / anata no koe ga kikoete kuru yo

Aku mengamatimu dari kejauhan, terselip perasaan yang begitu nyata,
Ketika aku terhenti di tengah perjalananku mengejar mimpi, aku mendengar suaramu (menyemangatiku)

この歌が響くようにと 届くようにと…

kono uta ga hibiku you ni to / todoku you ni to. . .

Semoga lagu ini sampai dan menyentuhmu. . .

それはまるで どこか懐かしい 匂いがするような一輪の花
僕がいつか誰かを 守るときがくれば あなたの手を思い出すだろう

sore wa marude / dokoka de natsukashii / nioi ga suru you na ichiri no hana
boku ga itsuka dareka wo / mamoru toki ga kureba / anata no te wo omoi dasu darou

Wangi bunga itu membuatku bernostalgia,
Jikalau tiba saatnya bagiku melindungi seseorang, aku akan mengingat bagaimana tanganmu memegang tanganku.

——

Lagu ini mengingatkanku kepada ibuku. Hh, this is a tear-jerker song. damn.

Untold Story: Compromise

Mom : What does he do for living?

Girl : He is a freelance journalist, for now.

Mom : Well, it means you need to find a permanent job.

Few days later, the boy stunned, “She didn’t write me off the candidates list?”

Hahaha, boy, finding the one is not about rejecting someone who doesn’t meet the criteria of an ideal spouse, but how to compromise those (what you called) weak points so that we can be strong and settled together.. especially, if that someone is a boy you truly care about.

Agenda Isu

Tengok beberapa isu yang beredar di media elektronik baru-baru ini,
Kemacetan Jakarta
Pemindahan Ibukota
dan yang paling hangat baru keluar dari oven, eh ruang studio; Redenominasi Rupiah.
Pernahkah terbesit, mengapa isu-isu ini yang diangkat?

Sebentar. Ada baiknya kita memahami, apa itu isu?
Menurut kitab bahasa Indonesia kita adalah
1. masalah yg dikemukakan untuk ditanggapi;
2. kabar yg tidak tentu kebenarannya dan tidak jelas asal usulnya; kabar angin; desas-desus;
Di bahasa Inggris, ada juga kata yang pengucapannya sama dengan ‘isu’ yaitu ‘issue’, yang artinya permasalahan, poin dalam diskusi, kegiatan mengeluarkan peraturan. ‘Issue’ tidak pernah mengandung arti ‘desas-desus’. Hm, jadi sebenarnya ‘isu’ itu bahasa serapan atau bahasa asli Indonesia ya?

Ok, that’s not a big deal. Lanjut. Kita kembali membahas isu-isu tersebut.

Kemacetan Jakarta sejak jaman pembangunan masa Pak Harto sudah jadi persoalan. Mobil-mobil membanjir masuk Jakarta. Pemerintah memutuskan memilih kendaraan umum berbasis mobil (seperti angkot, bis, metromini, kopaja) ketimbang alat transportasi publik lain seperti trem dan subway. Jadilah jalanan Jakarta semakin penuh, kemudian diperlebar, kemudian penuh lagi, kemudian dibangun tol-tol dalam kota, kemudian penuh lagi, diperlebar lagi. Dan hingga sampai pada titik ini, dimana pertambahan luas jalan tak lagi sebesar dulu. Sampai-sampai pula, ada ramalan ilmiah yang menyatakan Jakarta akan macet total pada 2015.

Sebenarnya, Ini persoalan lama. Persoalan ini tak kunjung usai bukan karena jarang dibahas. Sungguh, coba lihat berapa banyak kuliah, forum, seminar, skripsi, tesis, yang membahas mengenai solusi kemacetan. Persoalan ini tak beres-beres, karena memang tidak ada niatan (dan anggaran) kuat dari pemerintah (dan masyarakat) untuk mengaplikasikan solusi-solusi tersebut.  Lalu mengapa baru diangkat sekarang? Apakah ada isu lain yang saat ini ingin ditutupi?

Masih tentang Jakarta, dibilangnya Jakarta terlalu berat menahan beban sehingga fungsinya sebagai kota tidak lagi efisien dan efektif. Agar fungsi kota Jakarta kembali (termasuk berkurangnya kemacetan), beban itu harus dipindahkan dari punggung Jakarta. Bagaimana caranya? Pindahkan ibukota. Ini lagi-lagi isu lama, sejak jaman Pak Karno malah. Jika anda dekat dengan lingkungan kampus, pasti tak asing dengan isu ini. Lalu mengapa baru muncul sekarang?

Salah Satu stasiun televisi kita menayangkannya sambil mengundang serta Walikota Palangkaraya, kota yang disebut-sebut sebagai calon ibukota baru. Padahal dalam pembahasannya, ya tidak real-real amat, sekedar masih wacana, meskipun si walikota mengaku, sudah ada analisis politik dan ekonomi yang mendukung. Herannya, kok sampai bawa walikotanya segala? Mengapa pula isu ini diangkat? Apa ini hanya akal-akalan si walikota untuk menumbuhkan citra baik di pusat dan daerah?

Dan yang paling mengherankan, isu terbaru, Redenominasi Rupiah. Rizal Ramli diundang sebagai keynote speaker. Well, orang itu memang pintar. Dia selalu dapat menyederhanakan persoalan ekonomi yang rumit menjadi mudah dipahami orang awam. Setiap berceramah, di telinga saya, dia seakan berteriak, “Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, pasti akan mempengaruhi hidup Anda! Pedulilah!” Maka, malam ini pun sama, dengan gayanya yang khas seperti itu, dia membeberkan analisisnya mengenai efek dan urgensi redenominasi Rupiah. Singkat penjabaran, kebijakan itu tidak penting dan akan merugikan masyarakat.

Dimana mengherankannya? Gubernur BI baru saja berganti dan dilantik. Banyak yang tidak setuju memang dengan tokoh yang satu ini, apalagi calon Gubernur BI ya hanya dia seorang. Nah, di tengah ketidakpercayaan semacam itu, dengan kondisi baru dilantik, apa mungkin dan logis jika Pak Darmin melontarkan kebijakan itu? Apakah dia terlalu bodoh atau memang ingin bunuh diri?

Saya jadi bertanya-tanya, apa benar ini isu baru? Mungkinkah ini juga sebenarnya isu lama, hanya saja diangkat sekarang? Lalu mengapa isu ini diangkat? Mengapa sekarang? Apakah mungkin ada agenda yang dibawa oleh si stasiun tv? Misalnya, membuat opini publik negatif terhadap BI (dan akhirnya pasti berujung pada pemerintah) sehingga kepercayaan masyarakat kepada kepemimpinan Pak Esbeye pun menurun, misalnya.

Well,, televisi, radio, internet, koran, majalah, memang memberi kita akses berlimpah terhadap informasi. Arus informasi yang deras ini jangan sampai menghanyutkan kita. Tidak mau dong jika kita menjadi masyarakat yang dapat dikendalikan media? Karena itu, sudah saatnya pula kita semakin kritis (dan skeptis, mungkin) dalam melihat informasi. Bukan saja sejauh mana kebenarannya, tetapi juga alasan mengapa persoalan itu diangkat.

– efek ga ada tv kabel, minim tontonan.

Kacamata

Salman sedang dalam kondisi damai. Aku mengitarkan pandanganku dan jreeng, aku melihat Kang Salim dan Kang Sufyan. Aku sapa mereka dengan mata berbinar, maklum lama tidak bertemu. Mereka balas menyapa dengan riang, tapi atas alasan yang berbeda.

Kang Salim menghampiri sambil mensortir surat-surat di tangannya. Lalu berkata, “Plano deket sama SR kan.. Hhm, ke TG juga sekalian ya!”
(Yang benar saja, Plano di gerbang depan dan TG di gerbang belakang. Jelas tidak dekat.)

“He?” hanya itu reaksi pertamaku.

Sedetik berpikir, aku kemudian sadar, ini untuk urusan seminar cyber media yang akan diadakan jumat besok. Merasa direpotkan, aku mengajukan berbagai alasan dan argumen. Mengeles.

Kang Sufyan menyela, “Ah, Danar ini, kacamatanya kacamata capek sih. Pake kacamata ladang amal dong!”

Aku cuma mengerutkan kening, berpikir, “Oh, maksudnya sudut pandang.” Lalu aku semakin berkerut, “Benarkah selama ini aku berpikir bahwa amanah itu merepotkan?”

Still dealing with the thought, pada akhirnya aku menerima surat-surat itu dan menyampaikannya ke TU SR, DP, dan TG.

Tetapi ceplosan Kang Sufyan itu mengena betul. Nampaknya selama ini aku selalu memandang amanah sebagai sesuatu yang merepotkan dan menjauhinya. Padahal, jika aku menengok ke belakang, aku pada jaman tingkat 2, pas di Gamais, aku selalu bersemangat menerima kerjaan. ‘Kemana semua semangat ituuu?”

Mungkin jaman dulu Gamais berhasil mencuci otakku sehingga yang ada di pikiranku hanyalah berbuat yang terbaik dan terbanyak agar diperhatikan dan disayang Allah. Bahasa sononya, fastabihulkhoirot. Well, memang benar, prestasiku meningkat di kala itu. Semangatku tidak habis-habis. Ketika tugas kuliah bertumpuk, aku tetap bersemangat untuk berkegiatan. Bergadang (benar-benar tidak tidur) demi deadline lay-out. Sibuk, bahkan mengeluh pun tidak sempat. Haha. I was full of action back then. Now, I am full of words yet zero action. Waks!

Lagipula, saat itu, ada hm, seseorang yang menyemangatiku dan menjadikan aku semangatnya. It meant a lot. Hahahaha. Aih, my precious past.

Yah. Kang Sufyan, terima kasih banyak atas kata-kata yang menohok. Aku memang sebaiknya mengubah sudut pandang.

Hwee, akaang, terima kasiih. m(_)m

~After deadline 1. When I say ‘after’ it doesn’t mean I’ve finished my task. It’s just that I miss the deadline :p

Alergi

“Gatel-gatel nih habis makan udang & cumi!” keluh temanku

“Aku alergi ayam,” temanku yang lain mengaku dengan tenang.

Hm, aku bersyukur aku bisa memakan segala yang terhidang (selama halal dan tidak beracun). Padahal ketika aku kecil, aku punya banyak alergi. Aku ingat bagaimana aku dan orang tuaku bolak-balik ke dokter untuk mengurus alergiku. Alergenku pada masa itu antara lain, susu sapi, ayam, telur ayam, dan ikan laut.

Aku masih ingat bagaimana orang tuaku berdebat untuk mengusir alergiku, “Kalo ga diobatin sekarang, ntar makin parah, nanti anak ini ga bisa makan macem-macem pas udah gede!” (Alhamdulillah, aku diberi umur dan bisa mencicipi beragam makanan). Alhasil hampir tiap minggu aku ke dokter, merasakan tetesan-tetesan dingin di lengan untuk uji alergi. Tak lupa puasa makanan yang ‘membahayakan’ dan menegak obat.

Keluhan lain, bengek ikut ambil bagian. Ada lagi, gigiku nylenthang kesana kemari dan perlu dibenahi dengan behel. Nampaknya aku begitu menyusahkan ketika kecil.

Wew. Subhanallah ya. Aku tidak terbayang berapa materi dan tenaga yang sudah dicurahkan orang tuaku untuk merawatku, ketika masih kecil hingga sampai sebesar ini. Hwaa. Allah, terima kasih telah memberiku orang tua yang begitu pengertian dan bertanggung jawab. Aaaa, jadi kangen.

~ untold story 1. harus gitu juga kalo ntar jadi ortu!

Kamar Kosong

Aku sudah merasa bahwa momen ini akan tiba sejak dia berangkat wawancara BAPPENAS di Jakarta. Dan terjadilah.

Segera. Kamar nomor 5 di Kosan Satu Milyar akan segera kosong. Kemana penghuninya akan pergi? Dia akan menjajal karier di Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS.

Dia itu siapa sih?

Jika pikiranku tidak menipuku dan memoriku masih runtut, Micania Camillang adalah mahasiswi Planologi ITB pertama yang aku kenal. Dia duduk di sampingku saat daftar ulang. Aku menyapanya setelah mencuri dengar percakapannya di telepon bahwa dia belum mendapat  kosan. Tanpa basa-basi aku tawarkan kamar nomor 5 dan aku bertukar nomor hp dengannya.

Esoknya Mia dan Mama Eti datang meninjau kosan tawaranku. Setelah beberapa kali lirik dan berbincang dengan kami, para mahasiswa baru penghuni kosan, kata sepakat tercapai. Mia resmi menempati kamar nomor 5. Kamar yang berada tepat di samping kamarku.

Oh, bukan hanya kamar kami yang bersebelahan! Bahkan Nomor Induk Mahasiswa kami pun bersebelahan. Aku 15405058. Mia 15405059. Jelas, wong saat daftar ulang kami duduk berdekatan.

Awal Tingkat 1, aku merasa bahwa anak sulung dari 3 bersaudari ini amat merecoki stabilitas hidupku. Childish! Duh. Saking kesalnya, aku sampai pernah menelpon sahabat SMA-ku yang juga childish (dulunya) dan berteriak tidak sabar, “Aku ga pernah nyangka bakal ada orang yang lebih childish dari kamu! Dia ini parah bangeet. Huuuh!”

Meskipun aku tidak habis pikir bagaimana mungkin anak sulung bisa sekekanak-kanakan itu, sikapnya patut dimaklumi. Mojang Sunda ini kelahiran September 1988. Jadi, bagi anak-anak sekosan yang semuanya adalah angkatan 2005 kelahiran 1987, Mia adalah adik yang harus kita asuh.

Alhamdulillah. Seiring perkembangan jaman, Mia semakin dewasa dan berani mengambil tanggung jawab. Secara tidak resmi, Mia juga didapuk menjadi Bendahara Kosan. Meskipun kekanakan, kehidupan cintanya tidak bisa dianggap remeh. Dia berhasil menjalin skandal-skandal cinta hingga akhirnya berlabuh di hati Andika Putra Nugroho. *halaaah, geli dh gw*

Nyaris 5 tahun kita bersama. Berangkat ke kampus. Berjalan seiring menjelajah gedung-gedung di ITB. Terlambat. Belajar. Diskusi. Menugas. Bergadang. Ketiduran. Beli makan. Makan. Menonton. Tertawa melihat konyolnya Mr.Bean & Shaun The Sheep yang sebenarnya kita sudah hafal. Membaca. Mengisi TTS Kompas tiap hari minggu. Mengangkat galon Aqua. Berlibur. Jalan-jalan. Nyasar.

Kami berbagi kesukaan yang sama. Mulai dari Shonen Star, Yakitate! Japan, One Piece, Midori no Hibi, Up, Bolt, How To Train Your Dragon, Benny & Mice, Sukribo. Harmonia by Rythem, Angela Aki, John Mayer, Vladstudio, film horor yang dia istilahkan dengan “film seru”, dan bahasa asing. Nutrijel, ayam pop cobek, telor kering masjid, kwetiauw goreng, cheese cake Chizz. Sering pula kami menyukai wewangian yang sama. Walaupun kalau sudah menyangkut bidang Planologi, minat kita berbeda. Mia suka pengembangan komunitas dan komunikasi dalam perencanaan. Aku lebih memilih bidang fisik seperti lahan dan tata ruang.

Kehadiran Mia adalah suatu hal yang natural dan wajar dalam kehidupanku. Jika dia tidak ada, hariku jadi terasa janggal. Tawa dan spontanitasnya selalu bisa menyegarkan pikiran kusutku.

Ya. Meskipun kita (nyaris) selalu bersama, tapi langkah kaki kita tidak berbarengan menuju Sabuga.

Dan tibalah saat ini. Dimana dia akan meninggalkanku. Aku sadar ini adalah takdir yang terbaik.

Mia pergi berkarier, menantang diri untuk menjadi lebih baik. Mia ke Bappenas meraih kesempatan di depan mata. Mia ke Jakarta, memperpendek kilometer antara dia dan Andika.

Aku di sini, tercambuk untuk juga maju meskipun terseok dan tertinggal jauh, meskipun tidak akan mendengar tawa dan gurauan Mia lagi.

Kepergiannya adalah bukti keberhasilan Mia mengembangkan diri. Kepergiannya adalah bukti nyata stagnansiku. Kepergiannya adalah cambuk bagiku untuk berkembang.

Suatu pertemuan akan berujung pada perpisahan. Suatu perpisahan akan mengantarkan kita kepada pertemuan-pertemuan baru lainnya.

foto studio 11.04.2010

Maju teruuus, Ooong!
Tuntutlah ilmu dan karier sampai ke negeri Jerman!

—————————————–

Mungkin orang akan menilai tulisan ini agak berlebihan. Toh cuma Jakarta – Bandung. Tetapi perasaan ini benar adanya. Aku pun tak menyangka mengapa aku bisa merasa sekehilangan ini. Ah. Mungkin perasaan hanya untuk dirasakan, bukan dijabarkan.

Saya!

Ya! Tulisan ini tentang saya! Saya ingin bercerita bagaimana celetuk-celetuk saya mengayakan bahasa.

Hah, Anda pasti berpikir bahwa saya keterlaluan dan beromong kosong. Klaim ini memang sepihak. Kita semua mengakui bahasa selalu berkembang tetapi kita tidak tahu siapa pengembangnya. Lagipula bahasa berkembang dimulai di tingkat komunitas. Bisa jadi sejumlah orang yang berbeda di lingkungan-lingkungan yang berbeda pula, punya ide yang sama untuk menyebutkan suatu kata dan akhirnya kata itu menjadi sesuatu yang biasa. Tidak masalah. Saya tetap ingin menulis 😀

from: cartoostock.com

Redefinisi “Lucu”
Ini adalah pengayaan bahasa pertama yang saya lakukan ketika saya masih kelas 2 SMA. Saya menggunakan kata “lucu” untuk menggantikan kata-kata pujian. Saya memang punya kesulitan untuk mengungkap perasaan positif secara verbal. Ketika saya melihat sesuatu yang bagus ataupun lelaki yang ganteng, saya enggan memuji. Alhasil yang keluar dari mulut saya adalah, “Lucuu!”

Tentu saja, komen itu disambut oleh keheranan teman-teman saya. Berbagai koreksi pun saya dapatkan.
“Lucu? Bagus ini, Nar…”
“Lucu mananya?”
“Lucu? Ketawa doong!”
Seringkali koreksi datang dari pihak lelaki. Sebagai makhluk yang diperbudak logika, mereka mungkin tidak terima ketidaklogisan bagaimana suatu kata bisa lepas sejauh itu dari arti aslinya. Meski banyak kerut dan protes, tapi akhirnya banyak juga yang tertular.

Sekarang, untuk menghindari tercampurnya makna “lucu”, orang-orang berkata”lucu ha ha” untuk lucu yang mengundang tawa dan “lucu” untuk lucu sebagai tanda apresiasi. Lucu, bukan? 😀

Pengembangan penggunaan “Banget”
Seusai les persiapan SPMB di Nurul Fikri, saya dan beberapa teman masih berkumpul untuk membahas suatu rencana pertemuan. “Jam 4 banget??” saya bertanya memastikan.

Sayangnya, pertanyaan itu tidak dibalas dengan jawaban yang memuaskan, malah mereka balik bertanya, “Jam 4 banget? Bahasa apa sih?”

Ada pula yang kemudian berceloteh, “Banget itu bahasa gaul dari sangat. Nah sangat itu digunakan untuk menerangkan kata sifat. Jam 4 bukan kata sifat. Kamu ini gimana sih?”

Seorang lainnya hanya menggeleng-geleng, “Duh, dasar cewek. Pake bahasa kok ga ada yang bener,” begitu mungkin pikirnya menyerah.

Saya tidak tahu bagaimana penerimaan dan perkembangan kata yang satu ini, mengingat saat itu saya sudah di penghujung pertemuan dengan teman-teman Surabaya saya.

Eh, di Bandung, penggunaan “banget” seperti di atas adalah hal yang biasa lho. Tuh kan, bahasa berkembang mulai dari skala hiperlokal.

“Deadliners” tidak ada dalam kamus Inggris
Yang ada adalah procrastinator. Begitulah dunia internasional menyebut orang-orang yang suka menunda pekerjaan. Lalu mengapa saya tidak menggunakan “procrastinator“? Jujur saja, saya baru kenal istilah itu ketika jaman tingkat 2 pas nonton Spongebob. Ok, so how did I come up with deadliners?

Ada masa ketika saya suka sekali dengan desain. Ketika baru masuk kuliah, saya senang mendesain pin dan selalu mencari kata-kata baru untuk dipajang di pin.

Sore itu, di kamar kos, layar komputer saya menyuguhkan tulisan tagline informal planologi “The Few. The Proud. The Planner.” Saat itu pikiran saya dipenuhi dengan menumpuknya deadline tugas-tugas kuliah. Hal ini bukan salah dosen sebenarnya. Para dosen sudah mempertimbangkan berapa lama kiranya waktu yang mahasiswanya butuhkan untuk menyelesaikan tugas. Saya saja yang menundanya hingga nyaris hari terakhir. Sebenarnya (lagi), bukan saya saja yang menunda. Nyaris semua teman-teman se-plano juga menunda!

“Kalo ga deket deadline tuh ga semangat ngerjainnya. Ga ada tekanan. Ga ada motivasi. Otak tuh ga jalan,” alasan teman-temanku.

Masih di depan komputer, saya menghela nafas dan bergumam, “Hhh,, dasar deadliners kita ini..”

Beberapa detik kemudian, “Ahaaa, deadliners! Bagus nih buat di pin!”

Yak. Akhirnya saya mengabaikan tugas kuliah yang menumpuk itu dan membuat desain pin. (Ah, deadliners.. what a guilty pleasure!)

Ketika saya sampaikan ke teman-teman, desain dan istilah “deadliners” mendapat tanggapan positif. Hanya saja karena tugas yang semakin menumpuk dan tidak dapat ditunda, desain tinggallah desain. Tak sempat berwujud nyata. Bahkan desainnya pun sudah tak berjejak, mengingat komputer saya telah diformat ulang bersih.

“Gila”
Saya cuma bosan dengan kata “banget”, “sekali”, “amat”, “betul”. Saya ingin mencari kata lain untuk menggantikan kata-kata penerang adjektif itu. Entah mengapa pilihan saya jatuh ke kata “gila”.

Jadilah saya berkata, “Panas gila,” di cuaca yang terik. “Rame gila,” di shof sholat yang padat. “Macet gila!” ketika lalu lintas Cisitu stagnan. Dan berbagai kegilaan-kegilaan lainnya. Karena pada dasarnya kata “gila” memang berkonotasi negatif, saya pun cenderung menggunakannya untuk menjelaskan situasi-situasi negatif.

Meskipun ada kalanya saya menggunakannya untuk ekspresi positif, seperti;
“Ganteng gila!” “Manis gila!” untuk menggunjing cowok-cowok tampan. (ya, lama-kelamaan saya belajar mengapresiasi orang)
“Mantap gila!” untuk mendeskripsikan film yang bagus atau game yang seru.

Seperti biasa, pada awalnya teman-teman saya pada berkerut dan berkomentar, “Kok gila sih?” Wajar lah. Saya sudah kebal.

— Tulisan ini hanya untuk kesenangan dan canda semata. Tidak ada hak cipta yang diklaim ataupun kesombongan yang terbesit.
Oke, selanjutnya, kata-kata apa lagi yaa yang akan saya gunakan? Hm hm.