Menunda atau Mengabaikan?

Procrastination. Pasti semua orang pernah melakukannya, bahkan orang paling rajin sekalipun. (Yah, meskipun mereka mungkin hanya menunda beberapa detik untuk melakukan apa yang seharusnya mereka selesaikan).

dari: completeyourdissertation.com
dari: completeyourdissertation.com

Banyak alasan mengapa orang menunda. Jawaban terpopuler adalah karena belum mood. Belum? Ya. Inilah jawaban para deadliners. Mereka merasa tidak termotivasi jika pekerjaan yang mereka lakukan jauh dari deadline.

Peringkat kedua adalah jenuh. Bosan karena melakukan hal yang sama secara berulang. Alhasil mereka memutuskan untuk mengerjakan hal yang lain terlebih dahulu (baca: penyegaran).

Saya punya jawaban lain. Saya masih punya mood untuk bekerja atau belajar. Saya juga masih bersemangat. Saya hanya simply rebellious. Ketika saya punya daftar pekerjaan, saya cenderung untuk mengabaikannya dan malah mengerjakan yang lain.

Ketika saya dituntut untuk mengerjakan TA, saya lebih memilih mengisi web salman. Ketika saya diharuskan mengisi web salmanitb.com, saya lebih memilih untuk belajar dan mengerjakan TA. Ketika saya sepatutnya belajar Planologi, saya lebih berminat untuk membaca jurnal dan artikel jurnalisme. Pencapaian saya jadi terbalik-balik.

Sama seperti sekarang ini, ketika saya punya deadline tulisan web salmanitb.com, saya malah menulis tentang ini. Ketika saya bertekad menulis tentang procrastinator, saya malah punya ide untuk menulis tulisan lain.

Ah! Ketika saya fokus untuk satu hal, hal-hal lain tiba-tiba ikut nongol. Ide-ide berlompatan dan mengalihkan fokus saya. Harus bekerja secara simultan nampaknya. Tetapi, risiko bekerja simultan adalah bertambahnya kebutuhan waktu. Ah ah ah.

Salam!

“Assalamu-alay-kum,” seorang temanku mengucapkannya dengan tekanan pada kata “alay”. (Alay = anak layangan. Istilah untuk masyarakat kampung yang mencoba bertransisi ke arah urban namun hasilnya menjadi norak)

Ow ow ow, lelucon yang agak kasar menurutku. Tidak patut rasanya jika kita membawa agama sebagai bahan kelakar.

Tapi kemudian saya jadi bertanya-tanya, sejak kapan “Assalamualaikum” ditulis sebagai “Assalamualaykum”??

Hanya baru-baru ini saya menerima pesan singkat dan pesan langsung (im) dengan ejaan baru itu. Ya, baru di sekitar tahun 2010, kalau tidak salah. Selama ini, selama bertahun-tahun, saya selalu menulis dan mendapati ejaan lama dengan “i”.

Saya mengira-ngira mengapa baru akhir-akhir ini itu terjadi. Begini, ada sekelompok orang yang menyadari betul bahwa “Assalamualaikum” ditulis dengan السلام عليكم (as-salāmu `alaykum – menurut ejaan Oom Wiki). Karena mencoba mematuhi a la arabnya, mereka mulai menulis “Assalamualaykum”.

Semoga saja perkiraan sederhana saya ini benar. Semoga perubahan ejaan ini bukan gara-gara ulah sekelompok orang yang ingin membuat bahan lelucon dari agama Islam. (Ah, terlalu jauh nampaknya saya ber-suudzon)

Saya coba buka KBBI. Sapaan “Assalamualaikum” diadaptasi ke dalam ejaan Bahasa Indonesia dan ditulis dengan “i” bukan “y”. Menurut saya, sebagai orang Indonesia, lebih baik kita menggunakan ejaan yang sudah kita sepakati bersama saja.

Memang, lelucon itu bukan salah umat islam. Kata “assaalamualaikum” sudah ada jauh lebih dahulu ketimbang kata “alay”. Jadi, memang takdir saja yang menghadirkan orang kreatif yang memilih ejaan “assalamualaykum” dan orang yang membuatnya jadi lucu dengan “assalamu-alay-kum” dalam masa yang berdekatan.

Sebenarnya orang yang membuat ini bahan candalah yang seharusnya ditegur. Tapi nampaknya ada baiknya jika kita, umat islam, juga kembali menuliskan salam kita itu dengan ejaan Bahasa Indonesia saja. Toh kita tidak sedang menulis dengan huruf arab. Toh kita menulis dengan alfabet latin dan berbahasa Indonesia.

Tulisan ini sebenarnya bisa jadi malah menginspirasi semakin banyak orang untuk menertawakan “assalamu-alay-kum” Yah, respon diserahkan kembali kepada individu pembaca. Ini hanya untuk menyadarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam bercanda dan menulis.

Jadi, wassalamualaikum!
Dan jangan jadi orang alay. *uups, is that alright? is that an offense?*

Putaran Persoalan Air Perkotaan

Seusai Ashar, Jumat (19/3), Ruang Utama Masjid Salman masih bergema. Rupanya Lembaga Pengkajian Islam (LPI) sedang mengadakan Diskusi Terbuka: Persoalan Air Perkotaan. Hadir sebagai pembicara, Dr. Budi Brahmantyo (Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB), Dr. Agung Wiyono (Dosen Fakultas Teknik Sipil & Lingkungan ITB), dan Ust. Hervi Firdaus, Lc (Manajer Eksekutif Lembaga Pengembangan Dakwah Salman ITB).

Pada kesempatan itu, topik Air Perkotaan diangkat untuk memperingati Hari Air Sedunia yang jatuh pada Sabtu (20/3). Diterangkan dalam diskusi, dua inti persoalan air di perkotaan. Pertama, kualitas air tanah yang semakin menurun akibat kondisi hulu yang memburuk. Kondisi hulu yang buruk bisa disebabkan oleh penebangan liar, limbah pabrik dan rumah tangga yang dibuang ke sungai, serta perubahan fungsi lindung. Kedua, kuantitas air yang semakin berkurang. Hal ini dipicu oleh kurangnya penampungan dan daerah resapan sehingga air yang mengalir dari atas hanya sekedar lewat menuju muara lalu laut.

dari megaportal Kompas
dari megaportal Kompas

Air merupakan common properties. Semua orang butuh. Karena semua orang butuh itulah, harus ada aturan bagaimana sebaiknya pengelolaan air. Tanpa pengaturan tegas, terjadilah tragedy of the common. Semua orang butuh tetapi tidak ada yang bersedia mengurus ketika itu rusak. Tugas pemerintah (bersama masyarakat dan swasta) untuk mencegah ping pong tanggung jawab atas kepentingan publik. “Masyarakat harus cerdas dan berani menuntut ke pemerintah. Masyarakat juga harus bayar pajak. Tidak ngemplang. Pemerintah juga harus sadar jika diingatkan. Pihak swasta juga harus membangun sesuai prosedur. Jika semua pihak sadar tanggung jawab masing-masing, tuntutan-tuntutan yang diajukan akan mengantarkan kita kepada perbaikan komunitas. Seperti apa yang saya saksikan di Kanada!” terang Agus Wiyono berapi-api.

Namun ada yang terasa kurang dalam diskusi kemarin. Pihak pemerintah yang tidak turut dihadirkan menjadikan diskusi hanya sebatas wacana. Apalagi mengingat keluaran diskusi yang berupa tuntutan kepada pemerintah untuk memperbaiki pelayanan air. Sebenarnya ada pula solusi teknis, yaitu pembuatan kolam lingkungan dan kolam kota. Namun dengan kondisi Kota Bandung yang padat dan fakta bahwa RTH saja masih 8 % (padahal jumlah ideal 20%), solusi itu hanya menjadi onggokan berkas tanpa political will yang kuat dari pemerintah.

Pembahasan dari kacamata agama pun kurang terkait langsung dengan persoalan yang sedang dihadapi. Hanya sebagai gambaran umum bagaimana agama memandang pentingnya pengelolaan air yang baik. Pada intinya, air berasal dari Allah, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kehidupan orang banyak, dan jangan sampai air membawa keburukan. Ya, semua orang memang tahu tapi tak semua orang sadar.

Alhasil, diskusi terbuka kemarin ditutup dengan solusi yang memutar-mutar. Hal inipun tidak disangkal oleh Salim Rusli, Ketua LPI sekaligus moderator diskusi. Mungkin, jika dipangkas, apa yang bisa dikerjakan oleh mahasiswa adalah pencerdasan masyarakat bahwa mereka punya hak untuk menuntut pemerintah sekaligus punya kewajiban yang harus dipenuhi. “Bukan sekedar menjadi masyarakat yang nrimo-nrimo saja,” canda Budi Brahmantyo.

Kegiatan Diskusi Terbuka ini akan rutin diadakan LPI 2 kali sebulan. Diskusi semacam ini bertujuan untuk membahas persoalan aktual dari kacamata Islam dan ilmiah. Output dari diskusi memang berupa pewacanaan untuk masyarakat luas. Supaya awet ilmunya, LPI juga menuliskan hasil diskusi dan menerbitkannya dalam jurnal LPI. Selain mengadakan diskusi off air, LPI juga mengasuh Diskusi On Air setiap Jumat pukul 20.00 di Radio MQ FM.

Yang Muda, Yang Menginspirasi

Semua pemikiran ini berawal dari potong rambut,
“Mbak, potong a la Yuni Shara ya! Gini gini gini (menjelaskan teknis),” kata mbak-mbak salon kepadaku.

“Hah? Potongan Yuni Shara? Aduh, Mbak, ntar kalo saya ngegaet brondong gimana?” candaku ngasal.

Rupanya, bukannya aku menggaet brondong, melainkan aku kesengsem brondong. Ketika rambut Yuni Shara-ku baru berumur beberapa hari, aku tidak sengaja menonton dorama Tantei Gakuen Q dan menemukan seorang cowok manis, yang kala itu memerankan Amakusa Ryu. “Manisnya! Ganteng Subhanallah!” jeritku spontan.

Didorong rasa penasaran, aku mencari tahu siapa dia. Yamada Ryosuke. Kelahiran 1993. Tergabung juga dalam Hey!Say! Jump, idol group beranggotakan 10 cowok keren kelahiran jaman Heisei. Sejak saat itu aku mengikuti perkembangan lagu dan konser mereka.

Aku mengikuti perkembangan HSJ bukan karena mereka ganteng, melainkan karena mereka (cukup) berbakat dan begitu berdedikasi. Melihat bagaimana mereka yang muda-muda itu berlatih dan mempersiapkan penampilan sebaik mungkin, lalu tampil all out di depan penggemarnya,, sungguh mengesankan. Melihat mereka membuatku teringat bahwa masing-masing kita mempunyai ruang untuk berkembang.

Junior – Senior
Sebenarnya selama ini aku tipe yang temasuk toleran terhadap generasi di bawahku. Aku tidak meminta macam-macam dan teramat membandingkan, “Pas jamanku ga gitu, pas jamanmu kok gitu? Kok ga ada usaha sie?” dan semacamnya. Aku percaya tiap generasi punya tantangan dan solusinya masing-masing.

Aku percaya bahwa adek-adekku itu punya keinginan besar untuk melakukan yang lebih baik daripada senior-seniornya. Padahal di lain sisi senior-seniornya berpikir bahwa junior-juniornya itu lebih buruk dan tidak tangguh.

Tapi,, ayolah, siapa sih yang mengharapkan hancurnya suatu organisasi? Karena itu, sudah saatnya senior berani mempercayai junior.

Bocah-bocah Dokter
Minggu lalu aku berkesempatan turun ke daerah bencana bersama tim medis FK Unpad yang berisikan adik-adik FK. Ya, adik-adik angkatan 2007, 2008, dan ada juga 2009.

Mengagumkan. Pada usia semuda itu, mereka berani menjadi relawan. Ada seseorang di antara mereka yang memiliki pemikiran yang bagus, bertingkah sok dewasa dan cool. Si junior paling muda adalah yang paling meledak-ledak dan loud di antara mereka. Tingkahnya yang polos sungguh menggemaskan. Pengen aku bawa pulang sebagai adik deh.

Bocah-bocah Reporter
Salman Media mempertemukan aku dengan 3 bocah reporter. Berempat kita dibimbing untuk mengasah sisi ketajaman humanis dan jurnalis. Pada usia semuda itu (angkatan 2007 & 2009), mereka sudah diajarkan bahwa tiap manusia memiliki kisahnya masing-masing dan hal-hal itu dapat diangkat sebagai berita. Padahal aku sendiri baru mempelajari itu tahun lalu, otodidak.

Meskipun masih muda, mereka memiliki bakat menulis yang unik (I can’t find the right translation for ‘distinguished’). Yaa, ada juga yang masih terasa kasar dan belum luwes. Semua cuma masalah kebiasaan dan kemauan mengasah diri saja. *Saya bilang begini bukan karena merasa sudah benar atau senior kok, sekedar pendapat saja*

——————-
Begitulah nasib menjadi angkatan tua, gaulnya sama yang muda-muda. Tapi itu sungguh bukan hal buruk kok! Aku senang bisa belajar dari mereka, arigatou nee ototou to imoutou 😀

** “Bocah” adalah sapaan yang sering digunakan si FK berpikiran bagus & sok dewasa untuk memanggil teman-teman dan adek2 angkatannya.

Pengotak-ngotak

Pengotak-ngotak maksud saya bukanlah tukang pembuat otak-otak, melainkan orang yang enggan berubah, alias terkotak-kotak. Begini, dalam ilmu psikologi kita mengenal tipe dan karakteristik orang. Seperti, Sanguinis, Melankolis, Phlegmatis, dan Kholeris.

dalam kotak

Lalu orang terkotak-kotak dengan karakter-karakter itu. Mereka berpikir, “Saya ini tipe A, jangan suruh saya untuk menjadi tipe C. Saya tidak bisa!” Padahal tiap-tiap kita itu sebenarnya memiliki semua resources untuk sukses. Dan untuk sukses itu kita tentunya tidak bisa tetap menjadi orang yang sama sepanjang waktu. Ada kalanya seseorang yang pendiam dan teliti mendapat amanah untuk memimpin. Atau sesorang yang santai dan spontan harus melakukan sesuatu yang terorganisir.

Ketika saat-saat yang dirasa bertolak belakang seperti itu terjadi, tidak sebaiknya kita menghindar. Karena yang perlu kita lakukan hanyalah memanggil kenangan masa lalu mengenai seberapa terorganisirnya kita atau dominannya kita. Kita panggil kenangan itu, hadirkan kembali, ingat-ingat bagaimana perasaan dan suasana saat itu. Dengan begitu kita bisa menjalankan tugas dengan baik.

Karena kita memiliki semua yang dibutuhkan untuk sukses! Explore!

– disarikan dari kuliah singkat Kang Arfi di mobil menuju Salman dari Antapani.

Arti Sholat

“Sholat itu mencegah kita menjahati diri sendiri dan orang lain,”

Sepenggal nasihat pada waktu sholat dhuhur di Masjd Salman begitu mengena.

Itulah sebenarnya hakikat ‘fahsyai wal munkar‘, berbuat buruk kepada diri sendiri dan kepada orang lain,” lanjut bapak calon imam. Suara dalam kepalaku berkata, “Ahaaa, rupanya bukan sekedar mencegah dari perbuatan keji dan munkar ya! Rupanya artinya lebih dalam! Lha terus dulu itu siapa yang ngajarin kek gitu?”

‘Keji dan munkar.’ Pilihan kata yang nampaknya berlebihan. Keji seakan sadis. Munkar serasa munafik dan penuh kepalsuan. Kata-kata jahat yang berat dan tak terjangkau. Padahal makna ‘fahsyai wal munkar’ sendiri sebenarnya jauh lebih sederhana dan dekat dengan keseharian.

Dekat? Ya, dekat. Berbuat buruk kepada diri sendiri banyak contohnya. Sebut saja, ketika kita memilih untuk menunda-nunda pekerjaan, padahal dengan menunda suatu pekerjaan, pekerjaan lain kita pun ikut tertunda. Atau ketika kita memilih untuk melakukan sistem kebut semalam ketimbang belajar (atau mengerjakan) rutin setiap malam. Atau ketika kita memilih untuk menyantap fast food ketimbang lotek dan gado-gado. Atau ketika kita memilih untuk meneruskan tidur ketimbang lari pagi. Hal-hal sederhana yang dapat merugikan diri sendiri.

Berbuat buruk kepada orang lain? Tidak perlu melukai, menabrak, ataupun membunuh untuk itu. Cukup dengan, misalnya, melalaikan amanah dan kepercayaan yang telah diberikan orang lain kepada kita. Hal-hal semacam inilah yang coba dicegah dengan sholat.

Siang itu, pada ceramah singkat sebelum sholat dhuhur, aku semakin menghargai sholat. “Ooooh, indah ya rupanya makna sholat itu. Coba aku tau dari dulu,” terselip seberkas penyesalan dalam pikirku.

Ayo sholat, demi kebaikan diri kita dan orang lain!

Ilmuwan dalam Berita

Salah satu hobiku adalah menikmati berita. Ya, menikmati. Membaca ataupun menonton berita itu semacam hiburan bagiku. Begitu pula malam ini, aku menyalakan televisi dan membuka koran untuk menemani santap malamku.

Tapi kemudian aku menemukan kenyataan bahwa berita-berita Indonesia tak dapat lagi aku nikmati.

Kolom tajuk rencana dan opini adalah sasaran utamaku. Kolom pertama berjudul “Pertumbuhan Tujuh Persen”. Isinya kurang lebih mengenai evaluasi pencapaian target pertumbuhan kabinet lalu sebagai bahan pertimbangan pencapaian target periode ini. Sayangnya, poin pertama evaluasi yang tertulis adalah pembangunan infrastruktur. Ugh, aku termasuk orang yang heran dengan paradigma bahwa pembangunan maupun pertumbuhan itu identik dengan pembangunan fisik (baca: infrastruktur). Kurang tepat jika aku menjelaskan alasanku di sini. Aku akan menulisnya di catatan lain setelah ini. Kali ini, kita fokus pada peran media saja dulu.

Bukan pertama kalinya aku menemukan koran itu menulis hal semacam itu. Memang benar, konsisten. Tapi rasanya jelas ada suatu opini dan pola pikir publik yang ingin dibangun di sini. Apa itu? Tunggu catatanku selanjutnya berkaitan dengan pembangunan.

Lalu aku pun mengalihkan perhatianku ke televisi, memilih nomer 53 dari daftar pilihan channel. Program “Special Dialogue” sedang berlangsung, membahas tentang Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4), menghadirkan narasumber Dirjen Dikti dan Wakil Ketua I4. Aku sempat tertarik dengan topik yang diangkat, inovatif dan menginspirasi. Tetapi rupanya dialog yang terjadi tidak seinovatif dan seinspiratif bayanganku.

Tiap pertanyaan yang diajukan anchor tidak memiliki suatu kesatuan nyata yang berkesinambungan. Tidak memiliki tema spesifik, misalnya peran I4 serta harapan & dukungan pemerintah RI terhadap I4. Alih-alih, pembawa acara membahas mengenai penerbitan jurnal ilmiah Indonesia baik di dalam negeri maupun di dunia internasional serta stigma brain drain. Mungkin bermaksud untuk konkret, tapi untuk perkenalan suatu organisasi yang baru terbentuk 3 hari lalu, sepertinya masih banyak hal lain yang perlu digali daripada itu, terutama profil organisasi dan pengurusnya.

Tiap pertanyaannya pun tidak digali mendalam. Beberapa contoh :

Pak WK I4 ditanya mengenai 3 hak paten yang didapatkannya di Jepang. Namun yang ditanyakan hanya bagaimana perasaan Pak WK saat memperoleh hak paten dan royalti tiap tahun. Jika memang berniat memberi gambaran mengenai profil Pak WK, singgung jugalah perjuangan dan kerja keras penelitiannya untuk mendapat hak paten itu. Misalnya, sudah berapa lama Anda menelitinya? Sejak kapan penelitian Anda itu dimulai? Kemudahan memperoleh hak paten di luar negeri?

Keterkaitan erat antara universitas-industri-negara di Jepang. Hal ini memang patut dicontoh, tetapi sebenarnya Indonesia juga memiliki kaitan erat yang mirip, hanya saja semangat/landasannya berbeda. Di Jepang, hasil penelitian universitas dapat langsung dimanfaatkan untuk dunia industri. Perusahaan pun tak keberatan untuk berinvestasi di penelitian-penelitian yang dilakukan universitas. Negara menjadi enabler dan katalisator kerjasama itu. Di Indonesia, perusahaan membutuhkan universitas untuk mensuplai tenaga kerja. Universitas (tepatnya mahasiswa) membutuhkan perusahaan untuk mendapat pekerjaan. Negara merasa lega dengan kerjasama tersebut karena akan mengurangi beban pengangguran. Ironis, ketika Jepang menjual ilmu, Indonesia menjual hanya tenaga kerja. Salah satu alasannya adalah perusahaan-perusahaan di Jepang rata-rata memang milik orang Jepang sendiri, sebut saja honda,toyota, vodafone. Sedangkan di Indonesia, kebanyakan perusahaan adalah investor asing.

Yah, beginilah yang terjadi jika berita sepotong-sepotong.

Hal yang tak kalah penting adalah bagaimana dialog dibawakan. Pak WK I4 adalah tipikal orang IPA yang botak, jidat lebar, dan gaya bicara yang kalem. Pak Dirjen Dikti lebih bersemangat dalam berbicara dan agak keras kepala. Jika tidak diimbangi dengan gaya bicara yang berintonasi tepat dan kalimat-kalimat kritis-menggelitik, dialog bisa-bisa berlangsung datar. Dan itulah yang terjadi sayangnya. Nampaknya Bu Anchor terbawa ritme Pak WK.

Sesi pertama tontonan beritaku malam ini berakhir. Akan segera pula kuakhiri tulisan kali ini. Berita yang tampil di headline news akan menjadi satu catatan kritis tersendiri setelah ini.

KisahnyaTA [1]

— ketika sedang suntuk di perpus plano

Sebenarnya aku masih heran dengan orang yang bisa berpikir linear saat mengerjakan TA (skripsi). Buatku TA adalah suatu pekerjaan simultan yang nge-loop. Aku tidak bisa menyelesaikan bab 1 tanpa aku memahami bab 2 dan bab 3. Aku tidak bisa mengerjakan analisis tanpa aku mengerti bab 2 dan bab 3. Semuanya saling berkaitan. Tiap babnya sesungguhnya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi.

Lagipula formatnya yang itu itu itu saja membuatnya terasa membosankan untuk dibaca. Aku membaca cukup banyak buku TA. Syukur-syukur kalau si mantan mahasiswa itu pandai menulis, jadi buku TA-nya terasa mengalir. Tapi jika sebaliknya, kita harus mandeg beberapa detik lebih lama untuk memahami maunya si penulis. Susah memang bahasa akademis yaa. Susah dibaca, susah ditulis.

Kadang aku berangan-angan, betapa serunya jika kita menulis TA tanpa format kaku seperti itu. Tetap runtun dan logis dalam pola pikirnya, hanya penulisannya tidak sekaku TA jaman sekarang. Aku tidak mengharapkan di dalam TA bakal ada istilah macam, gue, lo, ya gitu, dibedain, pake insentif, dan segala macam bahasa tak resmi lainnya. Mengikuti EYD itu perlu tapi bukan berarti mengkakukan diri. Bukankah akan menyenangkan jika buku kita bisa dibaca dengan ringan dan mudah dipahami oleh orang lain?

Ayolah, kita pasti sudah mengerti bahwa aspek fun and love itu perlu dipertimbangkan dalam mengerjakan sesuatu. Kalau buku yang kita tulis ataupun yang kita baca tidak terasa menyenangkan, apa jadinya?

Coba bayangkan jika kita membaca suatu naskah akademis yang mengalir. Sebut saja Death & Life of American Cities, Land and The City, dsb. Mereka menulis dengan ringan. Apa yang mereka maksudkan pun tersampaikan. Betapa informatif dan menyenangkannya buku macam itu!

Don’t you want to make (at least) one like that? I want to!

Why must there be a raise??

My writing will be short. My question is simple :

Mudik is a tradition and a need for most of us, especially for those who are far away from hometown. To travel, we have 2 choices, get on public transportation such as bus, train, ship, airplane – or by private vehicles.

When we choose to use a public transportation. We will experience the same hard thing every year, which is tusla. Why must there be a tusla (transport fee on iedul fitri)?? It can empty our pockets!

I understand that governments need more efforts to provide the services; the maintenance things, the fuel prices things, etc. But I think it’s way too expensive. No wonder that people choose to go with their own vehicles, whether it’s car or even motorcycles. No wonder that people are willing to jostle and thrust through the crowd to get seats in economic trains. They’ll do anything to have the less expensive way to travel. Anything to gather with their family in town and anything to be back to metropolitan city to work.

Well, others say that because people get an extra salary while iedul fitri. (I know, perhaps their answers are only teasing me)
But..but..but, we, students, don’t get any!

I’ll take an example of train ticket’s price :

Mutiara Selatan : 130.000 –> 150.000 – 225.000

Argo Wilis : 210.000 –>250.000 – 400.000

Turangga :  230.000 –> 250.000 – 400.000

See, the tickets are getting higher but our pocket money is just so so. I can conclude, students are the ones who suffer the most when tusla is being applied.. -__-

Sejahtera dan Rasional

— stok lama yang selalu update

Bandung. 30.07.2009 – 1.12 pm

Beberapa hari ini tajuk rencana Kompas membahas sikap permisif masyarakat Indonesia yang menyuburkan bibit teroris di negara ini. Katanya, salah satu alasan mengapa masyarakat tidak mengacuhkan lingkungan sekitar dan bersikap ‘boleh boleh saja’ adalah karena kesejahteraan yang masih rendah. Tingkat kesejahteraan yang rendah ini membuat masyarakat tidak bersikap rasional dalam bertindak maupun menilai peristiwa.

Jadi, ada keterkaitan erat antara hidup sejahtera dan berpikir rasional. Awalnya aku heran, namun akhirnya aku sendiri tidak menyangkal hal ini karena pemikiran-pemikiran ini sempat merasuk juga dalam pikirku. Coba tengok, selama ini aku bisa tenang membaca koran, menonton berita, membeli buku, membaca buku, menjelajah internet, dan belajar – yah, apapun untuk menambah pengetahuan – karena ada kepastian uang bulanan yang mencukupi dari orang tuaku (anggap saja gaji). Hidup jadi tenang, ibadah jadi nyaman, banyak yang bisa disyukuri, dan diri yang bisa dikembangkan.

Nah, perasaan itu mulai luntur sekarang. Keinginan untuk bekerja (ataupun magang) dan mendapatkan pemasukan menjadi tak terbendung. Kebutuhan untuk mandiri dan survive tumbuh. Di saat seperti ini, yang kupikirkan hanyalah cari magangan, cepat lulus, cepat bekerja, dan memperoleh gaji yang memadai. Bekerja dimanapun tak jadi masalah, bank, tv, konsultan, pu, bappenas, pemkot, dsb. Yang penting aku bisa mendapat kepastian pemasukan memadai, mandiri, dan dapat menolong orang lain. Hal-hal seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan terpinggirkan (misalnya, mencari beasiswa S2). My God! Aku kaget juga bagaimana aku bisa berpikir sestandar dan sedatar itu. Rupanya kepastian dalam keuangan itu penting. *baru merasa memasuki dunia orang dewasa* Kata orang, duit memang bukan segalanya tapi tanpa uang kita tak bisa apa-apa. Ugh. Hate it but it’s undeniable.

Yah, bagaimanapun rejeki kita sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah. Sekarang tinggal usaha kita untuk menjemput rezeki itu (ya sebagaimana kita berusaha menjemput jodoh). Semoga Allah memudahkanku dalam meraih rezeki dan jodoh itu. Aku percaya apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik buat kita. Tinggal usaha dan doa kita aja.

Allah, jangan serahkan penjagaan dan pengurusan diri ini kepada diri hamba. Karena tanpa-Mu aku bukanlah apa-apa, hanya manusia yang penuh khilaf, dzolim, dan munafik. Jika suatu saat aku bersyukur, bertobat, dan melakukan kebaikan, sungguh itu bukan sekedar diriku, sungguh tak ada yang patut aku sombongkan. Karena kebaikan itu pun terjadi atas bantuanMu, doronganMu, kehendakMu, dan ridhoMu..