Tengok beberapa isu yang beredar di media elektronik baru-baru ini,
Kemacetan Jakarta
Pemindahan Ibukota
dan yang paling hangat baru keluar dari oven, eh ruang studio; Redenominasi Rupiah.
Pernahkah terbesit, mengapa isu-isu ini yang diangkat?
Sebentar. Ada baiknya kita memahami, apa itu isu?
Menurut kitab bahasa Indonesia kita adalah
1. masalah yg dikemukakan untuk ditanggapi;
2. kabar yg tidak tentu kebenarannya dan tidak jelas asal usulnya; kabar angin; desas-desus;
Di bahasa Inggris, ada juga kata yang pengucapannya sama dengan ‘isu’ yaitu ‘issue’, yang artinya permasalahan, poin dalam diskusi, kegiatan mengeluarkan peraturan. ‘Issue’ tidak pernah mengandung arti ‘desas-desus’. Hm, jadi sebenarnya ‘isu’ itu bahasa serapan atau bahasa asli Indonesia ya?
Ok, that’s not a big deal. Lanjut. Kita kembali membahas isu-isu tersebut.
Kemacetan Jakarta sejak jaman pembangunan masa Pak Harto sudah jadi persoalan. Mobil-mobil membanjir masuk Jakarta. Pemerintah memutuskan memilih kendaraan umum berbasis mobil (seperti angkot, bis, metromini, kopaja) ketimbang alat transportasi publik lain seperti trem dan subway. Jadilah jalanan Jakarta semakin penuh, kemudian diperlebar, kemudian penuh lagi, kemudian dibangun tol-tol dalam kota, kemudian penuh lagi, diperlebar lagi. Dan hingga sampai pada titik ini, dimana pertambahan luas jalan tak lagi sebesar dulu. Sampai-sampai pula, ada ramalan ilmiah yang menyatakan Jakarta akan macet total pada 2015.
Sebenarnya, Ini persoalan lama. Persoalan ini tak kunjung usai bukan karena jarang dibahas. Sungguh, coba lihat berapa banyak kuliah, forum, seminar, skripsi, tesis, yang membahas mengenai solusi kemacetan. Persoalan ini tak beres-beres, karena memang tidak ada niatan (dan anggaran) kuat dari pemerintah (dan masyarakat) untuk mengaplikasikan solusi-solusi tersebut. Lalu mengapa baru diangkat sekarang? Apakah ada isu lain yang saat ini ingin ditutupi?
Masih tentang Jakarta, dibilangnya Jakarta terlalu berat menahan beban sehingga fungsinya sebagai kota tidak lagi efisien dan efektif. Agar fungsi kota Jakarta kembali (termasuk berkurangnya kemacetan), beban itu harus dipindahkan dari punggung Jakarta. Bagaimana caranya? Pindahkan ibukota. Ini lagi-lagi isu lama, sejak jaman Pak Karno malah. Jika anda dekat dengan lingkungan kampus, pasti tak asing dengan isu ini. Lalu mengapa baru muncul sekarang?
Salah Satu stasiun televisi kita menayangkannya sambil mengundang serta Walikota Palangkaraya, kota yang disebut-sebut sebagai calon ibukota baru. Padahal dalam pembahasannya, ya tidak real-real amat, sekedar masih wacana, meskipun si walikota mengaku, sudah ada analisis politik dan ekonomi yang mendukung. Herannya, kok sampai bawa walikotanya segala? Mengapa pula isu ini diangkat? Apa ini hanya akal-akalan si walikota untuk menumbuhkan citra baik di pusat dan daerah?
Dan yang paling mengherankan, isu terbaru, Redenominasi Rupiah. Rizal Ramli diundang sebagai keynote speaker. Well, orang itu memang pintar. Dia selalu dapat menyederhanakan persoalan ekonomi yang rumit menjadi mudah dipahami orang awam. Setiap berceramah, di telinga saya, dia seakan berteriak, “Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, pasti akan mempengaruhi hidup Anda! Pedulilah!” Maka, malam ini pun sama, dengan gayanya yang khas seperti itu, dia membeberkan analisisnya mengenai efek dan urgensi redenominasi Rupiah. Singkat penjabaran, kebijakan itu tidak penting dan akan merugikan masyarakat.
Dimana mengherankannya? Gubernur BI baru saja berganti dan dilantik. Banyak yang tidak setuju memang dengan tokoh yang satu ini, apalagi calon Gubernur BI ya hanya dia seorang. Nah, di tengah ketidakpercayaan semacam itu, dengan kondisi baru dilantik, apa mungkin dan logis jika Pak Darmin melontarkan kebijakan itu? Apakah dia terlalu bodoh atau memang ingin bunuh diri?
Saya jadi bertanya-tanya, apa benar ini isu baru? Mungkinkah ini juga sebenarnya isu lama, hanya saja diangkat sekarang? Lalu mengapa isu ini diangkat? Mengapa sekarang? Apakah mungkin ada agenda yang dibawa oleh si stasiun tv? Misalnya, membuat opini publik negatif terhadap BI (dan akhirnya pasti berujung pada pemerintah) sehingga kepercayaan masyarakat kepada kepemimpinan Pak Esbeye pun menurun, misalnya.
Well,, televisi, radio, internet, koran, majalah, memang memberi kita akses berlimpah terhadap informasi. Arus informasi yang deras ini jangan sampai menghanyutkan kita. Tidak mau dong jika kita menjadi masyarakat yang dapat dikendalikan media? Karena itu, sudah saatnya pula kita semakin kritis (dan skeptis, mungkin) dalam melihat informasi. Bukan saja sejauh mana kebenarannya, tetapi juga alasan mengapa persoalan itu diangkat.
– efek ga ada tv kabel, minim tontonan.