It’s Motivating, Not Morbid

Those who envisioned death before his eyes, would not mind eases and hurdles of life
– Syumaith bin Ajlan rahimahullah


Every soul will taste death. And We test you with evil and with good as trial; and to Us you will be returned.

“We shall test you, sometimes with difficulties and sometimes with ease, to see who will give thanks and who will be ungrateful, who will have patience and who will despair.”

Good times and bad times.
Ease and difficulties.
In illness or in health.
Have or have not.
Each phase is a trial.
A trial of sabr and syukr.
This is the game of dunya.

Baca selebihnya »

Quranic Lenses on Resilience

The pen has stopped writings [Divine (Allah’s) preordainment] and the ink over the papers (Book of Decrees) have dried.

– Hadits quoted from Sahih At-Tirmidzhi

We all have setbacks.

Painful moments.

Sometimes too painful even just to be spoken.

Bad things.

Sometimes they rip away our present,

also tear apart our hopes for our own future

Whatever that makes us stop in shock

and demand “How could this happen?”

Still in shock, we try to put ourselves together.

Collecting the remnants of what was shattered.

Trying to bounce back

from what appears to be the deepest depth of suffering.

That is resilience

Adam Grant stated that a person has no fixed amount of resilience. So the question is, how can we become more resilient. Resilience is like a muscle, it can be build up.

So now, let’s build up that muscle from Quranic point of view.

Yes we need that muscle strong and strongly!

Because life is never perfect.

How can we stay sane?

Baca selebihnya »

Satu

Dulu, temanku pernah bertanya dalam suatu forum kecil kepada si teteh,

Teh, saya pernah tau, bahwa katanya islam itu akan terpecah menjadi 72 golongan dan hanya satu golongan yang akan masuk surga. Kok ngeri, Teh.

Pikirku saat itu, “Hah. masa’ Allah tega sih. Bukannya perbedaan interpretasi tidak mungkin terhindarkan?”

Namun jawaban si teteh sama sekali tidak memuaskan buat saya, “Makanya Dek, emang harus hati-hati pilih jamaah.”

Jawaban yang menurutku sangat subjektif dan mengandung maksud serta arahan tertentu. Jawaban yang malah membuat saya enggan menjebakkan diri dalam satu nama golongan.

4 tahun berlalu dari masa itu. Saya sedang santai membuka Quran kenang-kenangan umroh. Lalu saya temukan,

It has been narated by Abu Hurairah RA, in the hadits book (At-Tirmidhi, Ibn Majah, and Abu Dawud) that the Prophet Muhammad SAW said;

The Jews and Christians were divided into 71 or 72 religious sects and this nation will be divided into 73 religious sects – all in Hell, except one, and that one is the one on which I and my companions are today. [i.e following the Qur’an and the Prophet’s Sunnah]

dalam penjelasan petikan ayat QS. Ali Imran 3: 103;

And hold fast, all of you together, to the Rope of Allah (i.e this Quran), and be not divided among yourselves.

Rupanya teman saya itu salah mengutip. Yang terpecah itu bukan islam, melainkan yahudi dan kriten. Islam tetap teguh terhitung sebagai satu golongan. one religious sect.

Men, satu. Satu Islam. Satu Iman.

Lalu, mengapa jadi terpecah-pecah begini. Tiap golongan tidak menerima golongan yang lain. Tiap golongan merasa benar sendiri.

Mengapa tidak cukup berpikiran, bahwa selama patuh pada Quran dan Sunnah, mereka dan kita adalah sesama muslim. ck.

Arti Sholat

“Sholat itu mencegah kita menjahati diri sendiri dan orang lain,”

Sepenggal nasihat pada waktu sholat dhuhur di Masjd Salman begitu mengena.

Itulah sebenarnya hakikat ‘fahsyai wal munkar‘, berbuat buruk kepada diri sendiri dan kepada orang lain,” lanjut bapak calon imam. Suara dalam kepalaku berkata, “Ahaaa, rupanya bukan sekedar mencegah dari perbuatan keji dan munkar ya! Rupanya artinya lebih dalam! Lha terus dulu itu siapa yang ngajarin kek gitu?”

‘Keji dan munkar.’ Pilihan kata yang nampaknya berlebihan. Keji seakan sadis. Munkar serasa munafik dan penuh kepalsuan. Kata-kata jahat yang berat dan tak terjangkau. Padahal makna ‘fahsyai wal munkar’ sendiri sebenarnya jauh lebih sederhana dan dekat dengan keseharian.

Dekat? Ya, dekat. Berbuat buruk kepada diri sendiri banyak contohnya. Sebut saja, ketika kita memilih untuk menunda-nunda pekerjaan, padahal dengan menunda suatu pekerjaan, pekerjaan lain kita pun ikut tertunda. Atau ketika kita memilih untuk melakukan sistem kebut semalam ketimbang belajar (atau mengerjakan) rutin setiap malam. Atau ketika kita memilih untuk menyantap fast food ketimbang lotek dan gado-gado. Atau ketika kita memilih untuk meneruskan tidur ketimbang lari pagi. Hal-hal sederhana yang dapat merugikan diri sendiri.

Berbuat buruk kepada orang lain? Tidak perlu melukai, menabrak, ataupun membunuh untuk itu. Cukup dengan, misalnya, melalaikan amanah dan kepercayaan yang telah diberikan orang lain kepada kita. Hal-hal semacam inilah yang coba dicegah dengan sholat.

Siang itu, pada ceramah singkat sebelum sholat dhuhur, aku semakin menghargai sholat. “Ooooh, indah ya rupanya makna sholat itu. Coba aku tau dari dulu,” terselip seberkas penyesalan dalam pikirku.

Ayo sholat, demi kebaikan diri kita dan orang lain!