Kamar Kosong

Aku sudah merasa bahwa momen ini akan tiba sejak dia berangkat wawancara BAPPENAS di Jakarta. Dan terjadilah.

Segera. Kamar nomor 5 di Kosan Satu Milyar akan segera kosong. Kemana penghuninya akan pergi? Dia akan menjajal karier di Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS.

Dia itu siapa sih?

Jika pikiranku tidak menipuku dan memoriku masih runtut, Micania Camillang adalah mahasiswi Planologi ITB pertama yang aku kenal. Dia duduk di sampingku saat daftar ulang. Aku menyapanya setelah mencuri dengar percakapannya di telepon bahwa dia belum mendapat  kosan. Tanpa basa-basi aku tawarkan kamar nomor 5 dan aku bertukar nomor hp dengannya.

Esoknya Mia dan Mama Eti datang meninjau kosan tawaranku. Setelah beberapa kali lirik dan berbincang dengan kami, para mahasiswa baru penghuni kosan, kata sepakat tercapai. Mia resmi menempati kamar nomor 5. Kamar yang berada tepat di samping kamarku.

Oh, bukan hanya kamar kami yang bersebelahan! Bahkan Nomor Induk Mahasiswa kami pun bersebelahan. Aku 15405058. Mia 15405059. Jelas, wong saat daftar ulang kami duduk berdekatan.

Awal Tingkat 1, aku merasa bahwa anak sulung dari 3 bersaudari ini amat merecoki stabilitas hidupku. Childish! Duh. Saking kesalnya, aku sampai pernah menelpon sahabat SMA-ku yang juga childish (dulunya) dan berteriak tidak sabar, “Aku ga pernah nyangka bakal ada orang yang lebih childish dari kamu! Dia ini parah bangeet. Huuuh!”

Meskipun aku tidak habis pikir bagaimana mungkin anak sulung bisa sekekanak-kanakan itu, sikapnya patut dimaklumi. Mojang Sunda ini kelahiran September 1988. Jadi, bagi anak-anak sekosan yang semuanya adalah angkatan 2005 kelahiran 1987, Mia adalah adik yang harus kita asuh.

Alhamdulillah. Seiring perkembangan jaman, Mia semakin dewasa dan berani mengambil tanggung jawab. Secara tidak resmi, Mia juga didapuk menjadi Bendahara Kosan. Meskipun kekanakan, kehidupan cintanya tidak bisa dianggap remeh. Dia berhasil menjalin skandal-skandal cinta hingga akhirnya berlabuh di hati Andika Putra Nugroho. *halaaah, geli dh gw*

Nyaris 5 tahun kita bersama. Berangkat ke kampus. Berjalan seiring menjelajah gedung-gedung di ITB. Terlambat. Belajar. Diskusi. Menugas. Bergadang. Ketiduran. Beli makan. Makan. Menonton. Tertawa melihat konyolnya Mr.Bean & Shaun The Sheep yang sebenarnya kita sudah hafal. Membaca. Mengisi TTS Kompas tiap hari minggu. Mengangkat galon Aqua. Berlibur. Jalan-jalan. Nyasar.

Kami berbagi kesukaan yang sama. Mulai dari Shonen Star, Yakitate! Japan, One Piece, Midori no Hibi, Up, Bolt, How To Train Your Dragon, Benny & Mice, Sukribo. Harmonia by Rythem, Angela Aki, John Mayer, Vladstudio, film horor yang dia istilahkan dengan “film seru”, dan bahasa asing. Nutrijel, ayam pop cobek, telor kering masjid, kwetiauw goreng, cheese cake Chizz. Sering pula kami menyukai wewangian yang sama. Walaupun kalau sudah menyangkut bidang Planologi, minat kita berbeda. Mia suka pengembangan komunitas dan komunikasi dalam perencanaan. Aku lebih memilih bidang fisik seperti lahan dan tata ruang.

Kehadiran Mia adalah suatu hal yang natural dan wajar dalam kehidupanku. Jika dia tidak ada, hariku jadi terasa janggal. Tawa dan spontanitasnya selalu bisa menyegarkan pikiran kusutku.

Ya. Meskipun kita (nyaris) selalu bersama, tapi langkah kaki kita tidak berbarengan menuju Sabuga.

Dan tibalah saat ini. Dimana dia akan meninggalkanku. Aku sadar ini adalah takdir yang terbaik.

Mia pergi berkarier, menantang diri untuk menjadi lebih baik. Mia ke Bappenas meraih kesempatan di depan mata. Mia ke Jakarta, memperpendek kilometer antara dia dan Andika.

Aku di sini, tercambuk untuk juga maju meskipun terseok dan tertinggal jauh, meskipun tidak akan mendengar tawa dan gurauan Mia lagi.

Kepergiannya adalah bukti keberhasilan Mia mengembangkan diri. Kepergiannya adalah bukti nyata stagnansiku. Kepergiannya adalah cambuk bagiku untuk berkembang.

Suatu pertemuan akan berujung pada perpisahan. Suatu perpisahan akan mengantarkan kita kepada pertemuan-pertemuan baru lainnya.

foto studio 11.04.2010

Maju teruuus, Ooong!
Tuntutlah ilmu dan karier sampai ke negeri Jerman!

—————————————–

Mungkin orang akan menilai tulisan ini agak berlebihan. Toh cuma Jakarta – Bandung. Tetapi perasaan ini benar adanya. Aku pun tak menyangka mengapa aku bisa merasa sekehilangan ini. Ah. Mungkin perasaan hanya untuk dirasakan, bukan dijabarkan.

Menunda atau Mengabaikan?

Procrastination. Pasti semua orang pernah melakukannya, bahkan orang paling rajin sekalipun. (Yah, meskipun mereka mungkin hanya menunda beberapa detik untuk melakukan apa yang seharusnya mereka selesaikan).

dari: completeyourdissertation.com
dari: completeyourdissertation.com

Banyak alasan mengapa orang menunda. Jawaban terpopuler adalah karena belum mood. Belum? Ya. Inilah jawaban para deadliners. Mereka merasa tidak termotivasi jika pekerjaan yang mereka lakukan jauh dari deadline.

Peringkat kedua adalah jenuh. Bosan karena melakukan hal yang sama secara berulang. Alhasil mereka memutuskan untuk mengerjakan hal yang lain terlebih dahulu (baca: penyegaran).

Saya punya jawaban lain. Saya masih punya mood untuk bekerja atau belajar. Saya juga masih bersemangat. Saya hanya simply rebellious. Ketika saya punya daftar pekerjaan, saya cenderung untuk mengabaikannya dan malah mengerjakan yang lain.

Ketika saya dituntut untuk mengerjakan TA, saya lebih memilih mengisi web salman. Ketika saya diharuskan mengisi web salmanitb.com, saya lebih memilih untuk belajar dan mengerjakan TA. Ketika saya sepatutnya belajar Planologi, saya lebih berminat untuk membaca jurnal dan artikel jurnalisme. Pencapaian saya jadi terbalik-balik.

Sama seperti sekarang ini, ketika saya punya deadline tulisan web salmanitb.com, saya malah menulis tentang ini. Ketika saya bertekad menulis tentang procrastinator, saya malah punya ide untuk menulis tulisan lain.

Ah! Ketika saya fokus untuk satu hal, hal-hal lain tiba-tiba ikut nongol. Ide-ide berlompatan dan mengalihkan fokus saya. Harus bekerja secara simultan nampaknya. Tetapi, risiko bekerja simultan adalah bertambahnya kebutuhan waktu. Ah ah ah.

KisahnyaTA [1]

— ketika sedang suntuk di perpus plano

Sebenarnya aku masih heran dengan orang yang bisa berpikir linear saat mengerjakan TA (skripsi). Buatku TA adalah suatu pekerjaan simultan yang nge-loop. Aku tidak bisa menyelesaikan bab 1 tanpa aku memahami bab 2 dan bab 3. Aku tidak bisa mengerjakan analisis tanpa aku mengerti bab 2 dan bab 3. Semuanya saling berkaitan. Tiap babnya sesungguhnya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi.

Lagipula formatnya yang itu itu itu saja membuatnya terasa membosankan untuk dibaca. Aku membaca cukup banyak buku TA. Syukur-syukur kalau si mantan mahasiswa itu pandai menulis, jadi buku TA-nya terasa mengalir. Tapi jika sebaliknya, kita harus mandeg beberapa detik lebih lama untuk memahami maunya si penulis. Susah memang bahasa akademis yaa. Susah dibaca, susah ditulis.

Kadang aku berangan-angan, betapa serunya jika kita menulis TA tanpa format kaku seperti itu. Tetap runtun dan logis dalam pola pikirnya, hanya penulisannya tidak sekaku TA jaman sekarang. Aku tidak mengharapkan di dalam TA bakal ada istilah macam, gue, lo, ya gitu, dibedain, pake insentif, dan segala macam bahasa tak resmi lainnya. Mengikuti EYD itu perlu tapi bukan berarti mengkakukan diri. Bukankah akan menyenangkan jika buku kita bisa dibaca dengan ringan dan mudah dipahami oleh orang lain?

Ayolah, kita pasti sudah mengerti bahwa aspek fun and love itu perlu dipertimbangkan dalam mengerjakan sesuatu. Kalau buku yang kita tulis ataupun yang kita baca tidak terasa menyenangkan, apa jadinya?

Coba bayangkan jika kita membaca suatu naskah akademis yang mengalir. Sebut saja Death & Life of American Cities, Land and The City, dsb. Mereka menulis dengan ringan. Apa yang mereka maksudkan pun tersampaikan. Betapa informatif dan menyenangkannya buku macam itu!

Don’t you want to make (at least) one like that? I want to!