Selasa, 03.11.2009

secercah keberanian untuk berbagi mimpi dan harapan

Suara tangis meraung-raung layaknya sirine yang tak merdu memecah keheningan pagi, mengundang tanda tanya orang sekosan, mengganggu waktu baca koranku. Telusur punya telusur, suara tangisan itu berasal dari putra pemilik kosanku, code name Anjas. Rupanya, ayahnya meninggal di Cepu pagi ini.

Untuk Yang Akan Pergi

Kematian selalu menjadi pelajaran dan peringatan bagi mereka yang masih diberi berkah kehidupan. Suatu saat nanti di suatu tempat, kita yang masih hidup ini pasti akan mati. Sadarkah kita mengapa Allah tidak pernah membuka misteri masa depan kita kecuali satu kepastian bahwa kita pasti mati? Agar kita mempersiapkan diri. Agar kita berhati-hati bahwa orientasi hidup tak hanya untuk dunia, melainkan untuk kehidupan setelah mati. Allah tidak membocorkan rahasia kapan dan dimana kita akan mati tetapi Allah memberi kita kesempatan untuk memilih, bagaimana kita akan mati. Husnul khotimah? Su’ul khotimah? Itu pilihan kita, dengan ridho Allah.

Dikala aku dimandikan
Aku menyadari
Betapa pentingnya memelihara kesehatan jasmani

Dikala aku dibungkus kain kafan
Aku menyadari
Betapa pentingnya memelihara kehormatan diri

Dikala aku disholatkan
Aku menyadari
Betapa pentingnya memelihara pengabdian diri

Dikala aku diantarkan kepemakaman
Aku menyadari
Betapa pentingnya memelihara silaturahmi dan persahabatan

Dikala aku dikuburkan
Aku menyadari
Betapa pentingnya memelihara rasa tanggung jawab

Dikala aku ditangisi sanak dan famili
Aku menyadari
Betapa pentingnya menangisi diri

Dikala aku ditinggal sendiri
Aku menyadari
Betapa pentingnya mendekatkan diri pada Ilahi

Dikala aku terkujur dalam kegelapan
Aku menyadari
Betapa pentingnya mencari cahaya ilmu

Bagi Yang Ditinggalkan

Kita mungkin ingat bahwa kita akan mati dan jangan lupakan pula bahwa orang-orang dekat kita – orang tua, sahabat, saudara, dst – juga akan mati, bisa jadi, sebelum kita. Menghadapi kepergian orang yang kita sayangi memang bukan perkara mudah, pasti ada duka terselip di dada. Tapi bagaimana kita menyikapi duka dan mempersiapkan diri menghadapi duka itu?

Sadarilah bahwa siapapun itu yang kita sayangi, adalah milik Allah. Jikalaupun kita mencintai dan dicintai seseorang, sadarilah bahwa Allah lah yang Maha Pencinta dan Dicintai. Jika dia pergi, masih ada Allah yang bisa kita cintai, yang mencintai hamba-Nya, yang kepadanya kita masih bisa menumpahkan segala keluh bahkan harapan.

Mandiri. Ini hal terpenting untuk selamat hidup di dunia. Sering kali kita menangisi seseorang karena kita amat terikat dengannya, atau bahkan amat tergantung kepadanya. Ini harus dikikis.

Kita awalnya sendiri dan akhirnya sendiri. Mereka yang berhasil adalah mereka yang meletakkan dunia di tangannya dan akhirat di hatinya. ~Pramoedya Ananta Tour

Meskipun di awal dan di akhir kita pasti sendirian, di tengah-tengah kita masih bisa bersama dan bergerombol. Mandiri bukan berarti memutus kehidupan dengan orang-orang sekitar. Bagaimanapun juga kita makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup.

 

– my unfinished writing. it’s been 2 years and never finished.

Kamar Kosong

Aku sudah merasa bahwa momen ini akan tiba sejak dia berangkat wawancara BAPPENAS di Jakarta. Dan terjadilah.

Segera. Kamar nomor 5 di Kosan Satu Milyar akan segera kosong. Kemana penghuninya akan pergi? Dia akan menjajal karier di Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS.

Dia itu siapa sih?

Jika pikiranku tidak menipuku dan memoriku masih runtut, Micania Camillang adalah mahasiswi Planologi ITB pertama yang aku kenal. Dia duduk di sampingku saat daftar ulang. Aku menyapanya setelah mencuri dengar percakapannya di telepon bahwa dia belum mendapat  kosan. Tanpa basa-basi aku tawarkan kamar nomor 5 dan aku bertukar nomor hp dengannya.

Esoknya Mia dan Mama Eti datang meninjau kosan tawaranku. Setelah beberapa kali lirik dan berbincang dengan kami, para mahasiswa baru penghuni kosan, kata sepakat tercapai. Mia resmi menempati kamar nomor 5. Kamar yang berada tepat di samping kamarku.

Oh, bukan hanya kamar kami yang bersebelahan! Bahkan Nomor Induk Mahasiswa kami pun bersebelahan. Aku 15405058. Mia 15405059. Jelas, wong saat daftar ulang kami duduk berdekatan.

Awal Tingkat 1, aku merasa bahwa anak sulung dari 3 bersaudari ini amat merecoki stabilitas hidupku. Childish! Duh. Saking kesalnya, aku sampai pernah menelpon sahabat SMA-ku yang juga childish (dulunya) dan berteriak tidak sabar, “Aku ga pernah nyangka bakal ada orang yang lebih childish dari kamu! Dia ini parah bangeet. Huuuh!”

Meskipun aku tidak habis pikir bagaimana mungkin anak sulung bisa sekekanak-kanakan itu, sikapnya patut dimaklumi. Mojang Sunda ini kelahiran September 1988. Jadi, bagi anak-anak sekosan yang semuanya adalah angkatan 2005 kelahiran 1987, Mia adalah adik yang harus kita asuh.

Alhamdulillah. Seiring perkembangan jaman, Mia semakin dewasa dan berani mengambil tanggung jawab. Secara tidak resmi, Mia juga didapuk menjadi Bendahara Kosan. Meskipun kekanakan, kehidupan cintanya tidak bisa dianggap remeh. Dia berhasil menjalin skandal-skandal cinta hingga akhirnya berlabuh di hati Andika Putra Nugroho. *halaaah, geli dh gw*

Nyaris 5 tahun kita bersama. Berangkat ke kampus. Berjalan seiring menjelajah gedung-gedung di ITB. Terlambat. Belajar. Diskusi. Menugas. Bergadang. Ketiduran. Beli makan. Makan. Menonton. Tertawa melihat konyolnya Mr.Bean & Shaun The Sheep yang sebenarnya kita sudah hafal. Membaca. Mengisi TTS Kompas tiap hari minggu. Mengangkat galon Aqua. Berlibur. Jalan-jalan. Nyasar.

Kami berbagi kesukaan yang sama. Mulai dari Shonen Star, Yakitate! Japan, One Piece, Midori no Hibi, Up, Bolt, How To Train Your Dragon, Benny & Mice, Sukribo. Harmonia by Rythem, Angela Aki, John Mayer, Vladstudio, film horor yang dia istilahkan dengan “film seru”, dan bahasa asing. Nutrijel, ayam pop cobek, telor kering masjid, kwetiauw goreng, cheese cake Chizz. Sering pula kami menyukai wewangian yang sama. Walaupun kalau sudah menyangkut bidang Planologi, minat kita berbeda. Mia suka pengembangan komunitas dan komunikasi dalam perencanaan. Aku lebih memilih bidang fisik seperti lahan dan tata ruang.

Kehadiran Mia adalah suatu hal yang natural dan wajar dalam kehidupanku. Jika dia tidak ada, hariku jadi terasa janggal. Tawa dan spontanitasnya selalu bisa menyegarkan pikiran kusutku.

Ya. Meskipun kita (nyaris) selalu bersama, tapi langkah kaki kita tidak berbarengan menuju Sabuga.

Dan tibalah saat ini. Dimana dia akan meninggalkanku. Aku sadar ini adalah takdir yang terbaik.

Mia pergi berkarier, menantang diri untuk menjadi lebih baik. Mia ke Bappenas meraih kesempatan di depan mata. Mia ke Jakarta, memperpendek kilometer antara dia dan Andika.

Aku di sini, tercambuk untuk juga maju meskipun terseok dan tertinggal jauh, meskipun tidak akan mendengar tawa dan gurauan Mia lagi.

Kepergiannya adalah bukti keberhasilan Mia mengembangkan diri. Kepergiannya adalah bukti nyata stagnansiku. Kepergiannya adalah cambuk bagiku untuk berkembang.

Suatu pertemuan akan berujung pada perpisahan. Suatu perpisahan akan mengantarkan kita kepada pertemuan-pertemuan baru lainnya.

foto studio 11.04.2010

Maju teruuus, Ooong!
Tuntutlah ilmu dan karier sampai ke negeri Jerman!

—————————————–

Mungkin orang akan menilai tulisan ini agak berlebihan. Toh cuma Jakarta – Bandung. Tetapi perasaan ini benar adanya. Aku pun tak menyangka mengapa aku bisa merasa sekehilangan ini. Ah. Mungkin perasaan hanya untuk dirasakan, bukan dijabarkan.

Sejahtera ~ Rasional

hanya pendapat.

Beberapa hari ini tajuk rencana Kompas membahas sikap permisif masyarakat Indonesia yang menyuburkan bibit teroris di negara ini. Katanya, salah satu alasan mengapa masyarakat tidak mengacuhkan lingkungan sekitar dan bersikap ‘boleh boleh saja’ adalah karena kesejahteraan yang masih rendah. TIngkat kesejahteraan yang rendah ini membuat masyarakat tidak bersikap rasional dalam bertindak maupun menilai peristiwa.

Jadi, ada keterkaitan erat antara hidup sejahtera dan berpikir rasional. Awalnya aku heran, namun akhirnya aku sendiri tidak menyangkal hal ini karena pemikiran-pemikiran ini sempat merasuk juga dalam pikirku. Coba tengok, selama ini aku bisa tenang membaca koran, menonton berita, membeli buku, membaca buku, menjelajah internet, dan belajar – yah, apapun untuk menambah pengetahuan – karena ada kepastian uang bulanan yang mencukupi dari orang tuaku (anggap saja gaji). Hidup jadi tenang, ibadah  jadi nyaman, banyak yang bisa disyukuri, dan diri yang bisa dikembangkan.

Otak vs Perut

Nah, perasaan itu mulai luntur sekarang. Sebentar lagi  aku harus hidup mandiri. Keinginan untuk bekerja (ataupun magang) dan mendapatkan pemasukan menjadi tak terbendung. Kebutuhan untuk mandiri dan survive tumbuh. Di saat seperti ini, yang kupikirkan hanyalah cari magangan, cepat lulus, cepat bekerja, dan memperoleh gaji yang memadai. Bekerja dimanapun tak jadi masalah, bank, tv, konsultan, pu, bappenas, pemkot, dsb. Yang penting aku bisa mendapat kepastian pemasukan memadai, mandiri, dan dapat menolong orang lain. Hal-hal seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan terpinggirkan (misalnya, mencari beasiswa S2). My God! Aku kaget juga bagaimana aku bisa berpikir sestandar dan sedatar itu. Rupanya kepastian dalam keuangan itu penting. *baru merasa memasuki dunia orang dewasa* Kata orang, duit memang bukan segalanya tapi tanpa uang kita tak bisa apa-apa. Ugh. Hate it but it’s undeniable.

Aman

Yah, bagaimanapun rejeki kita sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah. Sekarang tinggal usaha kita untuk menjemput rezeki itu (ya sebagaimana kita berusaha menjemput jodoh). Semoga Allah memudahkanku dalam meraih rezeki dan jodoh itu. Aku percaya apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik untuk kita. Tinggal usaha dan doa kita saja.