Salam!

“Assalamu-alay-kum,” seorang temanku mengucapkannya dengan tekanan pada kata “alay”. (Alay = anak layangan. Istilah untuk masyarakat kampung yang mencoba bertransisi ke arah urban namun hasilnya menjadi norak)

Ow ow ow, lelucon yang agak kasar menurutku. Tidak patut rasanya jika kita membawa agama sebagai bahan kelakar.

Tapi kemudian saya jadi bertanya-tanya, sejak kapan “Assalamualaikum” ditulis sebagai “Assalamualaykum”??

Hanya baru-baru ini saya menerima pesan singkat dan pesan langsung (im) dengan ejaan baru itu. Ya, baru di sekitar tahun 2010, kalau tidak salah. Selama ini, selama bertahun-tahun, saya selalu menulis dan mendapati ejaan lama dengan “i”.

Saya mengira-ngira mengapa baru akhir-akhir ini itu terjadi. Begini, ada sekelompok orang yang menyadari betul bahwa “Assalamualaikum” ditulis dengan السلام عليكم (as-salāmu `alaykum – menurut ejaan Oom Wiki). Karena mencoba mematuhi a la arabnya, mereka mulai menulis “Assalamualaykum”.

Semoga saja perkiraan sederhana saya ini benar. Semoga perubahan ejaan ini bukan gara-gara ulah sekelompok orang yang ingin membuat bahan lelucon dari agama Islam. (Ah, terlalu jauh nampaknya saya ber-suudzon)

Saya coba buka KBBI. Sapaan “Assalamualaikum” diadaptasi ke dalam ejaan Bahasa Indonesia dan ditulis dengan “i” bukan “y”. Menurut saya, sebagai orang Indonesia, lebih baik kita menggunakan ejaan yang sudah kita sepakati bersama saja.

Memang, lelucon itu bukan salah umat islam. Kata “assaalamualaikum” sudah ada jauh lebih dahulu ketimbang kata “alay”. Jadi, memang takdir saja yang menghadirkan orang kreatif yang memilih ejaan “assalamualaykum” dan orang yang membuatnya jadi lucu dengan “assalamu-alay-kum” dalam masa yang berdekatan.

Sebenarnya orang yang membuat ini bahan candalah yang seharusnya ditegur. Tapi nampaknya ada baiknya jika kita, umat islam, juga kembali menuliskan salam kita itu dengan ejaan Bahasa Indonesia saja. Toh kita tidak sedang menulis dengan huruf arab. Toh kita menulis dengan alfabet latin dan berbahasa Indonesia.

Tulisan ini sebenarnya bisa jadi malah menginspirasi semakin banyak orang untuk menertawakan “assalamu-alay-kum” Yah, respon diserahkan kembali kepada individu pembaca. Ini hanya untuk menyadarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam bercanda dan menulis.

Jadi, wassalamualaikum!
Dan jangan jadi orang alay. *uups, is that alright? is that an offense?*

Ilmuwan dalam Berita

Salah satu hobiku adalah menikmati berita. Ya, menikmati. Membaca ataupun menonton berita itu semacam hiburan bagiku. Begitu pula malam ini, aku menyalakan televisi dan membuka koran untuk menemani santap malamku.

Tapi kemudian aku menemukan kenyataan bahwa berita-berita Indonesia tak dapat lagi aku nikmati.

Kolom tajuk rencana dan opini adalah sasaran utamaku. Kolom pertama berjudul “Pertumbuhan Tujuh Persen”. Isinya kurang lebih mengenai evaluasi pencapaian target pertumbuhan kabinet lalu sebagai bahan pertimbangan pencapaian target periode ini. Sayangnya, poin pertama evaluasi yang tertulis adalah pembangunan infrastruktur. Ugh, aku termasuk orang yang heran dengan paradigma bahwa pembangunan maupun pertumbuhan itu identik dengan pembangunan fisik (baca: infrastruktur). Kurang tepat jika aku menjelaskan alasanku di sini. Aku akan menulisnya di catatan lain setelah ini. Kali ini, kita fokus pada peran media saja dulu.

Bukan pertama kalinya aku menemukan koran itu menulis hal semacam itu. Memang benar, konsisten. Tapi rasanya jelas ada suatu opini dan pola pikir publik yang ingin dibangun di sini. Apa itu? Tunggu catatanku selanjutnya berkaitan dengan pembangunan.

Lalu aku pun mengalihkan perhatianku ke televisi, memilih nomer 53 dari daftar pilihan channel. Program “Special Dialogue” sedang berlangsung, membahas tentang Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4), menghadirkan narasumber Dirjen Dikti dan Wakil Ketua I4. Aku sempat tertarik dengan topik yang diangkat, inovatif dan menginspirasi. Tetapi rupanya dialog yang terjadi tidak seinovatif dan seinspiratif bayanganku.

Tiap pertanyaan yang diajukan anchor tidak memiliki suatu kesatuan nyata yang berkesinambungan. Tidak memiliki tema spesifik, misalnya peran I4 serta harapan & dukungan pemerintah RI terhadap I4. Alih-alih, pembawa acara membahas mengenai penerbitan jurnal ilmiah Indonesia baik di dalam negeri maupun di dunia internasional serta stigma brain drain. Mungkin bermaksud untuk konkret, tapi untuk perkenalan suatu organisasi yang baru terbentuk 3 hari lalu, sepertinya masih banyak hal lain yang perlu digali daripada itu, terutama profil organisasi dan pengurusnya.

Tiap pertanyaannya pun tidak digali mendalam. Beberapa contoh :

Pak WK I4 ditanya mengenai 3 hak paten yang didapatkannya di Jepang. Namun yang ditanyakan hanya bagaimana perasaan Pak WK saat memperoleh hak paten dan royalti tiap tahun. Jika memang berniat memberi gambaran mengenai profil Pak WK, singgung jugalah perjuangan dan kerja keras penelitiannya untuk mendapat hak paten itu. Misalnya, sudah berapa lama Anda menelitinya? Sejak kapan penelitian Anda itu dimulai? Kemudahan memperoleh hak paten di luar negeri?

Keterkaitan erat antara universitas-industri-negara di Jepang. Hal ini memang patut dicontoh, tetapi sebenarnya Indonesia juga memiliki kaitan erat yang mirip, hanya saja semangat/landasannya berbeda. Di Jepang, hasil penelitian universitas dapat langsung dimanfaatkan untuk dunia industri. Perusahaan pun tak keberatan untuk berinvestasi di penelitian-penelitian yang dilakukan universitas. Negara menjadi enabler dan katalisator kerjasama itu. Di Indonesia, perusahaan membutuhkan universitas untuk mensuplai tenaga kerja. Universitas (tepatnya mahasiswa) membutuhkan perusahaan untuk mendapat pekerjaan. Negara merasa lega dengan kerjasama tersebut karena akan mengurangi beban pengangguran. Ironis, ketika Jepang menjual ilmu, Indonesia menjual hanya tenaga kerja. Salah satu alasannya adalah perusahaan-perusahaan di Jepang rata-rata memang milik orang Jepang sendiri, sebut saja honda,toyota, vodafone. Sedangkan di Indonesia, kebanyakan perusahaan adalah investor asing.

Yah, beginilah yang terjadi jika berita sepotong-sepotong.

Hal yang tak kalah penting adalah bagaimana dialog dibawakan. Pak WK I4 adalah tipikal orang IPA yang botak, jidat lebar, dan gaya bicara yang kalem. Pak Dirjen Dikti lebih bersemangat dalam berbicara dan agak keras kepala. Jika tidak diimbangi dengan gaya bicara yang berintonasi tepat dan kalimat-kalimat kritis-menggelitik, dialog bisa-bisa berlangsung datar. Dan itulah yang terjadi sayangnya. Nampaknya Bu Anchor terbawa ritme Pak WK.

Sesi pertama tontonan beritaku malam ini berakhir. Akan segera pula kuakhiri tulisan kali ini. Berita yang tampil di headline news akan menjadi satu catatan kritis tersendiri setelah ini.