Yang Muda, Yang Menginspirasi

Semua pemikiran ini berawal dari potong rambut,
“Mbak, potong a la Yuni Shara ya! Gini gini gini (menjelaskan teknis),” kata mbak-mbak salon kepadaku.

“Hah? Potongan Yuni Shara? Aduh, Mbak, ntar kalo saya ngegaet brondong gimana?” candaku ngasal.

Rupanya, bukannya aku menggaet brondong, melainkan aku kesengsem brondong. Ketika rambut Yuni Shara-ku baru berumur beberapa hari, aku tidak sengaja menonton dorama Tantei Gakuen Q dan menemukan seorang cowok manis, yang kala itu memerankan Amakusa Ryu. “Manisnya! Ganteng Subhanallah!” jeritku spontan.

Didorong rasa penasaran, aku mencari tahu siapa dia. Yamada Ryosuke. Kelahiran 1993. Tergabung juga dalam Hey!Say! Jump, idol group beranggotakan 10 cowok keren kelahiran jaman Heisei. Sejak saat itu aku mengikuti perkembangan lagu dan konser mereka.

Aku mengikuti perkembangan HSJ bukan karena mereka ganteng, melainkan karena mereka (cukup) berbakat dan begitu berdedikasi. Melihat bagaimana mereka yang muda-muda itu berlatih dan mempersiapkan penampilan sebaik mungkin, lalu tampil all out di depan penggemarnya,, sungguh mengesankan. Melihat mereka membuatku teringat bahwa masing-masing kita mempunyai ruang untuk berkembang.

Junior – Senior
Sebenarnya selama ini aku tipe yang temasuk toleran terhadap generasi di bawahku. Aku tidak meminta macam-macam dan teramat membandingkan, “Pas jamanku ga gitu, pas jamanmu kok gitu? Kok ga ada usaha sie?” dan semacamnya. Aku percaya tiap generasi punya tantangan dan solusinya masing-masing.

Aku percaya bahwa adek-adekku itu punya keinginan besar untuk melakukan yang lebih baik daripada senior-seniornya. Padahal di lain sisi senior-seniornya berpikir bahwa junior-juniornya itu lebih buruk dan tidak tangguh.

Tapi,, ayolah, siapa sih yang mengharapkan hancurnya suatu organisasi? Karena itu, sudah saatnya senior berani mempercayai junior.

Bocah-bocah Dokter
Minggu lalu aku berkesempatan turun ke daerah bencana bersama tim medis FK Unpad yang berisikan adik-adik FK. Ya, adik-adik angkatan 2007, 2008, dan ada juga 2009.

Mengagumkan. Pada usia semuda itu, mereka berani menjadi relawan. Ada seseorang di antara mereka yang memiliki pemikiran yang bagus, bertingkah sok dewasa dan cool. Si junior paling muda adalah yang paling meledak-ledak dan loud di antara mereka. Tingkahnya yang polos sungguh menggemaskan. Pengen aku bawa pulang sebagai adik deh.

Bocah-bocah Reporter
Salman Media mempertemukan aku dengan 3 bocah reporter. Berempat kita dibimbing untuk mengasah sisi ketajaman humanis dan jurnalis. Pada usia semuda itu (angkatan 2007 & 2009), mereka sudah diajarkan bahwa tiap manusia memiliki kisahnya masing-masing dan hal-hal itu dapat diangkat sebagai berita. Padahal aku sendiri baru mempelajari itu tahun lalu, otodidak.

Meskipun masih muda, mereka memiliki bakat menulis yang unik (I can’t find the right translation for ‘distinguished’). Yaa, ada juga yang masih terasa kasar dan belum luwes. Semua cuma masalah kebiasaan dan kemauan mengasah diri saja. *Saya bilang begini bukan karena merasa sudah benar atau senior kok, sekedar pendapat saja*

——————-
Begitulah nasib menjadi angkatan tua, gaulnya sama yang muda-muda. Tapi itu sungguh bukan hal buruk kok! Aku senang bisa belajar dari mereka, arigatou nee ototou to imoutou 😀

** “Bocah” adalah sapaan yang sering digunakan si FK berpikiran bagus & sok dewasa untuk memanggil teman-teman dan adek2 angkatannya.

Yang Muda, (Semoga) Yang Bijak

—  tulisan ini mencerminkan hanya sebagian kelompok pemuda. No offense.

"Masa depan ada di tangan generasi muda. Hari penuh tantangan akan menjadi tanggung jawab pemuda. Karena itu, kaum muda tak hanya harus kritis, namun SOLUTIF."

Pemuda saat ini berani maju dan bicara. Era kebebasan, kata mereka. Tak ragu mereka menuding dan membongkar kesalahan. Tak jarang dengan lantang meneriakkan apa yang mereka anggap kebenaran. Namun, seringkali sedikit dari mereka yang menyuarakan solusi dan langkah konkret. Ini adalah suatu kehilangan besar bagi kaum muda.

Kritis itu penting. Menyatakan persoalan itu harus. Tapi lebih penting lagi adalah mencari solusi. Jengah  telinga ini mendengar omongan sombong, abstrak, tanpa solusi, dan penuh emosi para pemuda di suatu forum. Banyak dari mereka yang berbicara menggebu-gebu, sedikit dari mereka yang berbicara bijak dan solutif.

gambar dari : http://fraijonpurba.wordpress.com/

Celoteh Pemuda di Suatu Malam

Hal seperti ini terjadi di berbagai sudut hidup, mulai dari himpunan, bem, dan eksternal kampus. Saya beri contoh dalam konteks Pemilu 2009 yang baru saja berlangsung. Ada dari mereka yang berani menyatakan, "Saya tidak bangga mempunyai presiden yang terpilih dengan cara manipulasi!" *melihat kalimat ini, Anda bisa tebak dia memihak partai mana*. Ada pula yang berteriak penuh emosi, "Saya ragu harus menyebut apa yang terjadi di Pemilu 2009 ini sebagai kesalahan atau kecurangan?!". Dan bla bla blaaaa seterusnya sampai berbusa.

Pemerintah (terutama pusat) selalu menjadi sasaran kritik mereka. Padahal ini negara kita bersama, indonesia kita, namun begitu ada persoalan terjadi, semua buru-buru menuding pemerintah sebagai pelaku kesalahan. Tidak mencoba menengok ke dalam diri masing-masing. Takut menemukan kesalahan dalam diri, tidak ingin dicap ‘turut andil salah’, mungkin.

2 pemikiran melayang di kepalaku
1." Heran. Tidakkah mereka capek berteriak-teriak penuh emosi seperti itu?" Mengapa mereka tidak bisa mempersingkat apa yang ingin mereka katakan? Mengapa tidak bisa sopan dalam berbicara? Apa berbicara politik harus keras? Padahal apa yang mereka nyatakan tak jauh berbeda dengan para politikus yang sudah tua-tua itu. Tidak inovatif sebagaimana layaknya pemuda. Apakah mereka hanya mencontek?

2. "Lalu harus bagaimana kita??". Semua orang yang berbicara berhenti pada tahapan pernyataan persoalan. Lha, solusine piyee?? Apa menemukan solusi bukan ranah pemuda? ranah pemerintah yang berkuasa saja?

Alamaaak, saya yakin tidak semua kaum muda seperti itu tipenya. Coba bayangkan jika misalnya 20 tahun ke depan, Indonesia ini dipegang oleh pemuda-pemuda masa kini yang jago mengkritik, jago bicara, gemar menggunakan emosi, nampaknya keadaan negara tidak akan jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Apa itu yang kaum muda inginkan? Mana perubahan dan perbaikan yang dapat diusung?

Negara takkan menjadi baik hanya dengan kritik, tetapi harus disertai solusi. Dan saya yakin pasti ada mereka-mereka yang solutif, tidak penuh emosi, dan tidak memakai topeng. Semoga. Saya yakin para pemuda masih punya waktu untuk memperbaiki diri, mempersiapkan diri menjadi pemimpin bangsa dan bahkan negarawan.

 Agar Saya Tak Menelan Ludah Sendiri..

Yaah, sebenarnya apa yang saya lakukan saat ini juga menyatakan persoalan, jadi supaya saya tidak menelan ludah sendiri, saya harus memberi pandangan mengenai apa yang seharusnya kaum muda (termasuk saya)  lakukan :
1. Saat ingin berbicara, tanyakan dulu pada diri sendiri, "Apakah apa yang akan gw omongin ini berguna, mengandung solusi atau cuma sekedar memenuhi hasrat gw pengen tampil dsb?"
2. Singkat & lugas saat menyatakan persoalan, beri penekanan pada apa yang penting
3. Padat & (boleh) panjang saat menyatakan solusi
4. Jaga intonasi bicara, supaya inti dari omongan kita sampai pada para pendengar
5. Ga usah pake emosi, ga bijak tau.

Yak, akhir kata..
masa depan diraih bukan dengan sekedar kata-kata atau bahkan omong kosong, melainkan dengan tindakan. *ayoo ayooo, nulis mulu juga nie aku, kerja kerja blajaaar!*