Seusai Ashar, Jumat (19/3), Ruang Utama Masjid Salman masih bergema. Rupanya Lembaga Pengkajian Islam (LPI) sedang mengadakan Diskusi Terbuka: Persoalan Air Perkotaan. Hadir sebagai pembicara, Dr. Budi Brahmantyo (Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB), Dr. Agung Wiyono (Dosen Fakultas Teknik Sipil & Lingkungan ITB), dan Ust. Hervi Firdaus, Lc (Manajer Eksekutif Lembaga Pengembangan Dakwah Salman ITB).
Pada kesempatan itu, topik Air Perkotaan diangkat untuk memperingati Hari Air Sedunia yang jatuh pada Sabtu (20/3). Diterangkan dalam diskusi, dua inti persoalan air di perkotaan. Pertama, kualitas air tanah yang semakin menurun akibat kondisi hulu yang memburuk. Kondisi hulu yang buruk bisa disebabkan oleh penebangan liar, limbah pabrik dan rumah tangga yang dibuang ke sungai, serta perubahan fungsi lindung. Kedua, kuantitas air yang semakin berkurang. Hal ini dipicu oleh kurangnya penampungan dan daerah resapan sehingga air yang mengalir dari atas hanya sekedar lewat menuju muara lalu laut.

Air merupakan common properties. Semua orang butuh. Karena semua orang butuh itulah, harus ada aturan bagaimana sebaiknya pengelolaan air. Tanpa pengaturan tegas, terjadilah tragedy of the common. Semua orang butuh tetapi tidak ada yang bersedia mengurus ketika itu rusak. Tugas pemerintah (bersama masyarakat dan swasta) untuk mencegah ping pong tanggung jawab atas kepentingan publik. “Masyarakat harus cerdas dan berani menuntut ke pemerintah. Masyarakat juga harus bayar pajak. Tidak ngemplang. Pemerintah juga harus sadar jika diingatkan. Pihak swasta juga harus membangun sesuai prosedur. Jika semua pihak sadar tanggung jawab masing-masing, tuntutan-tuntutan yang diajukan akan mengantarkan kita kepada perbaikan komunitas. Seperti apa yang saya saksikan di Kanada!” terang Agus Wiyono berapi-api.
Namun ada yang terasa kurang dalam diskusi kemarin. Pihak pemerintah yang tidak turut dihadirkan menjadikan diskusi hanya sebatas wacana. Apalagi mengingat keluaran diskusi yang berupa tuntutan kepada pemerintah untuk memperbaiki pelayanan air. Sebenarnya ada pula solusi teknis, yaitu pembuatan kolam lingkungan dan kolam kota. Namun dengan kondisi Kota Bandung yang padat dan fakta bahwa RTH saja masih 8 % (padahal jumlah ideal 20%), solusi itu hanya menjadi onggokan berkas tanpa political will yang kuat dari pemerintah.
Pembahasan dari kacamata agama pun kurang terkait langsung dengan persoalan yang sedang dihadapi. Hanya sebagai gambaran umum bagaimana agama memandang pentingnya pengelolaan air yang baik. Pada intinya, air berasal dari Allah, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kehidupan orang banyak, dan jangan sampai air membawa keburukan. Ya, semua orang memang tahu tapi tak semua orang sadar.
Alhasil, diskusi terbuka kemarin ditutup dengan solusi yang memutar-mutar. Hal inipun tidak disangkal oleh Salim Rusli, Ketua LPI sekaligus moderator diskusi. Mungkin, jika dipangkas, apa yang bisa dikerjakan oleh mahasiswa adalah pencerdasan masyarakat bahwa mereka punya hak untuk menuntut pemerintah sekaligus punya kewajiban yang harus dipenuhi. “Bukan sekedar menjadi masyarakat yang nrimo-nrimo saja,” canda Budi Brahmantyo.
Kegiatan Diskusi Terbuka ini akan rutin diadakan LPI 2 kali sebulan. Diskusi semacam ini bertujuan untuk membahas persoalan aktual dari kacamata Islam dan ilmiah. Output dari diskusi memang berupa pewacanaan untuk masyarakat luas. Supaya awet ilmunya, LPI juga menuliskan hasil diskusi dan menerbitkannya dalam jurnal LPI. Selain mengadakan diskusi off air, LPI juga mengasuh Diskusi On Air setiap Jumat pukul 20.00 di Radio MQ FM.