Kamar Kosong

Aku sudah merasa bahwa momen ini akan tiba sejak dia berangkat wawancara BAPPENAS di Jakarta. Dan terjadilah.

Segera. Kamar nomor 5 di Kosan Satu Milyar akan segera kosong. Kemana penghuninya akan pergi? Dia akan menjajal karier di Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS.

Dia itu siapa sih?

Jika pikiranku tidak menipuku dan memoriku masih runtut, Micania Camillang adalah mahasiswi Planologi ITB pertama yang aku kenal. Dia duduk di sampingku saat daftar ulang. Aku menyapanya setelah mencuri dengar percakapannya di telepon bahwa dia belum mendapat  kosan. Tanpa basa-basi aku tawarkan kamar nomor 5 dan aku bertukar nomor hp dengannya.

Esoknya Mia dan Mama Eti datang meninjau kosan tawaranku. Setelah beberapa kali lirik dan berbincang dengan kami, para mahasiswa baru penghuni kosan, kata sepakat tercapai. Mia resmi menempati kamar nomor 5. Kamar yang berada tepat di samping kamarku.

Oh, bukan hanya kamar kami yang bersebelahan! Bahkan Nomor Induk Mahasiswa kami pun bersebelahan. Aku 15405058. Mia 15405059. Jelas, wong saat daftar ulang kami duduk berdekatan.

Awal Tingkat 1, aku merasa bahwa anak sulung dari 3 bersaudari ini amat merecoki stabilitas hidupku. Childish! Duh. Saking kesalnya, aku sampai pernah menelpon sahabat SMA-ku yang juga childish (dulunya) dan berteriak tidak sabar, “Aku ga pernah nyangka bakal ada orang yang lebih childish dari kamu! Dia ini parah bangeet. Huuuh!”

Meskipun aku tidak habis pikir bagaimana mungkin anak sulung bisa sekekanak-kanakan itu, sikapnya patut dimaklumi. Mojang Sunda ini kelahiran September 1988. Jadi, bagi anak-anak sekosan yang semuanya adalah angkatan 2005 kelahiran 1987, Mia adalah adik yang harus kita asuh.

Alhamdulillah. Seiring perkembangan jaman, Mia semakin dewasa dan berani mengambil tanggung jawab. Secara tidak resmi, Mia juga didapuk menjadi Bendahara Kosan. Meskipun kekanakan, kehidupan cintanya tidak bisa dianggap remeh. Dia berhasil menjalin skandal-skandal cinta hingga akhirnya berlabuh di hati Andika Putra Nugroho. *halaaah, geli dh gw*

Nyaris 5 tahun kita bersama. Berangkat ke kampus. Berjalan seiring menjelajah gedung-gedung di ITB. Terlambat. Belajar. Diskusi. Menugas. Bergadang. Ketiduran. Beli makan. Makan. Menonton. Tertawa melihat konyolnya Mr.Bean & Shaun The Sheep yang sebenarnya kita sudah hafal. Membaca. Mengisi TTS Kompas tiap hari minggu. Mengangkat galon Aqua. Berlibur. Jalan-jalan. Nyasar.

Kami berbagi kesukaan yang sama. Mulai dari Shonen Star, Yakitate! Japan, One Piece, Midori no Hibi, Up, Bolt, How To Train Your Dragon, Benny & Mice, Sukribo. Harmonia by Rythem, Angela Aki, John Mayer, Vladstudio, film horor yang dia istilahkan dengan “film seru”, dan bahasa asing. Nutrijel, ayam pop cobek, telor kering masjid, kwetiauw goreng, cheese cake Chizz. Sering pula kami menyukai wewangian yang sama. Walaupun kalau sudah menyangkut bidang Planologi, minat kita berbeda. Mia suka pengembangan komunitas dan komunikasi dalam perencanaan. Aku lebih memilih bidang fisik seperti lahan dan tata ruang.

Kehadiran Mia adalah suatu hal yang natural dan wajar dalam kehidupanku. Jika dia tidak ada, hariku jadi terasa janggal. Tawa dan spontanitasnya selalu bisa menyegarkan pikiran kusutku.

Ya. Meskipun kita (nyaris) selalu bersama, tapi langkah kaki kita tidak berbarengan menuju Sabuga.

Dan tibalah saat ini. Dimana dia akan meninggalkanku. Aku sadar ini adalah takdir yang terbaik.

Mia pergi berkarier, menantang diri untuk menjadi lebih baik. Mia ke Bappenas meraih kesempatan di depan mata. Mia ke Jakarta, memperpendek kilometer antara dia dan Andika.

Aku di sini, tercambuk untuk juga maju meskipun terseok dan tertinggal jauh, meskipun tidak akan mendengar tawa dan gurauan Mia lagi.

Kepergiannya adalah bukti keberhasilan Mia mengembangkan diri. Kepergiannya adalah bukti nyata stagnansiku. Kepergiannya adalah cambuk bagiku untuk berkembang.

Suatu pertemuan akan berujung pada perpisahan. Suatu perpisahan akan mengantarkan kita kepada pertemuan-pertemuan baru lainnya.

foto studio 11.04.2010

Maju teruuus, Ooong!
Tuntutlah ilmu dan karier sampai ke negeri Jerman!

—————————————–

Mungkin orang akan menilai tulisan ini agak berlebihan. Toh cuma Jakarta – Bandung. Tetapi perasaan ini benar adanya. Aku pun tak menyangka mengapa aku bisa merasa sekehilangan ini. Ah. Mungkin perasaan hanya untuk dirasakan, bukan dijabarkan.

Saya!

Ya! Tulisan ini tentang saya! Saya ingin bercerita bagaimana celetuk-celetuk saya mengayakan bahasa.

Hah, Anda pasti berpikir bahwa saya keterlaluan dan beromong kosong. Klaim ini memang sepihak. Kita semua mengakui bahasa selalu berkembang tetapi kita tidak tahu siapa pengembangnya. Lagipula bahasa berkembang dimulai di tingkat komunitas. Bisa jadi sejumlah orang yang berbeda di lingkungan-lingkungan yang berbeda pula, punya ide yang sama untuk menyebutkan suatu kata dan akhirnya kata itu menjadi sesuatu yang biasa. Tidak masalah. Saya tetap ingin menulis 😀

from: cartoostock.com

Redefinisi “Lucu”
Ini adalah pengayaan bahasa pertama yang saya lakukan ketika saya masih kelas 2 SMA. Saya menggunakan kata “lucu” untuk menggantikan kata-kata pujian. Saya memang punya kesulitan untuk mengungkap perasaan positif secara verbal. Ketika saya melihat sesuatu yang bagus ataupun lelaki yang ganteng, saya enggan memuji. Alhasil yang keluar dari mulut saya adalah, “Lucuu!”

Tentu saja, komen itu disambut oleh keheranan teman-teman saya. Berbagai koreksi pun saya dapatkan.
“Lucu? Bagus ini, Nar…”
“Lucu mananya?”
“Lucu? Ketawa doong!”
Seringkali koreksi datang dari pihak lelaki. Sebagai makhluk yang diperbudak logika, mereka mungkin tidak terima ketidaklogisan bagaimana suatu kata bisa lepas sejauh itu dari arti aslinya. Meski banyak kerut dan protes, tapi akhirnya banyak juga yang tertular.

Sekarang, untuk menghindari tercampurnya makna “lucu”, orang-orang berkata”lucu ha ha” untuk lucu yang mengundang tawa dan “lucu” untuk lucu sebagai tanda apresiasi. Lucu, bukan? 😀

Pengembangan penggunaan “Banget”
Seusai les persiapan SPMB di Nurul Fikri, saya dan beberapa teman masih berkumpul untuk membahas suatu rencana pertemuan. “Jam 4 banget??” saya bertanya memastikan.

Sayangnya, pertanyaan itu tidak dibalas dengan jawaban yang memuaskan, malah mereka balik bertanya, “Jam 4 banget? Bahasa apa sih?”

Ada pula yang kemudian berceloteh, “Banget itu bahasa gaul dari sangat. Nah sangat itu digunakan untuk menerangkan kata sifat. Jam 4 bukan kata sifat. Kamu ini gimana sih?”

Seorang lainnya hanya menggeleng-geleng, “Duh, dasar cewek. Pake bahasa kok ga ada yang bener,” begitu mungkin pikirnya menyerah.

Saya tidak tahu bagaimana penerimaan dan perkembangan kata yang satu ini, mengingat saat itu saya sudah di penghujung pertemuan dengan teman-teman Surabaya saya.

Eh, di Bandung, penggunaan “banget” seperti di atas adalah hal yang biasa lho. Tuh kan, bahasa berkembang mulai dari skala hiperlokal.

“Deadliners” tidak ada dalam kamus Inggris
Yang ada adalah procrastinator. Begitulah dunia internasional menyebut orang-orang yang suka menunda pekerjaan. Lalu mengapa saya tidak menggunakan “procrastinator“? Jujur saja, saya baru kenal istilah itu ketika jaman tingkat 2 pas nonton Spongebob. Ok, so how did I come up with deadliners?

Ada masa ketika saya suka sekali dengan desain. Ketika baru masuk kuliah, saya senang mendesain pin dan selalu mencari kata-kata baru untuk dipajang di pin.

Sore itu, di kamar kos, layar komputer saya menyuguhkan tulisan tagline informal planologi “The Few. The Proud. The Planner.” Saat itu pikiran saya dipenuhi dengan menumpuknya deadline tugas-tugas kuliah. Hal ini bukan salah dosen sebenarnya. Para dosen sudah mempertimbangkan berapa lama kiranya waktu yang mahasiswanya butuhkan untuk menyelesaikan tugas. Saya saja yang menundanya hingga nyaris hari terakhir. Sebenarnya (lagi), bukan saya saja yang menunda. Nyaris semua teman-teman se-plano juga menunda!

“Kalo ga deket deadline tuh ga semangat ngerjainnya. Ga ada tekanan. Ga ada motivasi. Otak tuh ga jalan,” alasan teman-temanku.

Masih di depan komputer, saya menghela nafas dan bergumam, “Hhh,, dasar deadliners kita ini..”

Beberapa detik kemudian, “Ahaaa, deadliners! Bagus nih buat di pin!”

Yak. Akhirnya saya mengabaikan tugas kuliah yang menumpuk itu dan membuat desain pin. (Ah, deadliners.. what a guilty pleasure!)

Ketika saya sampaikan ke teman-teman, desain dan istilah “deadliners” mendapat tanggapan positif. Hanya saja karena tugas yang semakin menumpuk dan tidak dapat ditunda, desain tinggallah desain. Tak sempat berwujud nyata. Bahkan desainnya pun sudah tak berjejak, mengingat komputer saya telah diformat ulang bersih.

“Gila”
Saya cuma bosan dengan kata “banget”, “sekali”, “amat”, “betul”. Saya ingin mencari kata lain untuk menggantikan kata-kata penerang adjektif itu. Entah mengapa pilihan saya jatuh ke kata “gila”.

Jadilah saya berkata, “Panas gila,” di cuaca yang terik. “Rame gila,” di shof sholat yang padat. “Macet gila!” ketika lalu lintas Cisitu stagnan. Dan berbagai kegilaan-kegilaan lainnya. Karena pada dasarnya kata “gila” memang berkonotasi negatif, saya pun cenderung menggunakannya untuk menjelaskan situasi-situasi negatif.

Meskipun ada kalanya saya menggunakannya untuk ekspresi positif, seperti;
“Ganteng gila!” “Manis gila!” untuk menggunjing cowok-cowok tampan. (ya, lama-kelamaan saya belajar mengapresiasi orang)
“Mantap gila!” untuk mendeskripsikan film yang bagus atau game yang seru.

Seperti biasa, pada awalnya teman-teman saya pada berkerut dan berkomentar, “Kok gila sih?” Wajar lah. Saya sudah kebal.

— Tulisan ini hanya untuk kesenangan dan canda semata. Tidak ada hak cipta yang diklaim ataupun kesombongan yang terbesit.
Oke, selanjutnya, kata-kata apa lagi yaa yang akan saya gunakan? Hm hm.

Putaran Persoalan Air Perkotaan

Seusai Ashar, Jumat (19/3), Ruang Utama Masjid Salman masih bergema. Rupanya Lembaga Pengkajian Islam (LPI) sedang mengadakan Diskusi Terbuka: Persoalan Air Perkotaan. Hadir sebagai pembicara, Dr. Budi Brahmantyo (Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB), Dr. Agung Wiyono (Dosen Fakultas Teknik Sipil & Lingkungan ITB), dan Ust. Hervi Firdaus, Lc (Manajer Eksekutif Lembaga Pengembangan Dakwah Salman ITB).

Pada kesempatan itu, topik Air Perkotaan diangkat untuk memperingati Hari Air Sedunia yang jatuh pada Sabtu (20/3). Diterangkan dalam diskusi, dua inti persoalan air di perkotaan. Pertama, kualitas air tanah yang semakin menurun akibat kondisi hulu yang memburuk. Kondisi hulu yang buruk bisa disebabkan oleh penebangan liar, limbah pabrik dan rumah tangga yang dibuang ke sungai, serta perubahan fungsi lindung. Kedua, kuantitas air yang semakin berkurang. Hal ini dipicu oleh kurangnya penampungan dan daerah resapan sehingga air yang mengalir dari atas hanya sekedar lewat menuju muara lalu laut.

dari megaportal Kompas
dari megaportal Kompas

Air merupakan common properties. Semua orang butuh. Karena semua orang butuh itulah, harus ada aturan bagaimana sebaiknya pengelolaan air. Tanpa pengaturan tegas, terjadilah tragedy of the common. Semua orang butuh tetapi tidak ada yang bersedia mengurus ketika itu rusak. Tugas pemerintah (bersama masyarakat dan swasta) untuk mencegah ping pong tanggung jawab atas kepentingan publik. “Masyarakat harus cerdas dan berani menuntut ke pemerintah. Masyarakat juga harus bayar pajak. Tidak ngemplang. Pemerintah juga harus sadar jika diingatkan. Pihak swasta juga harus membangun sesuai prosedur. Jika semua pihak sadar tanggung jawab masing-masing, tuntutan-tuntutan yang diajukan akan mengantarkan kita kepada perbaikan komunitas. Seperti apa yang saya saksikan di Kanada!” terang Agus Wiyono berapi-api.

Namun ada yang terasa kurang dalam diskusi kemarin. Pihak pemerintah yang tidak turut dihadirkan menjadikan diskusi hanya sebatas wacana. Apalagi mengingat keluaran diskusi yang berupa tuntutan kepada pemerintah untuk memperbaiki pelayanan air. Sebenarnya ada pula solusi teknis, yaitu pembuatan kolam lingkungan dan kolam kota. Namun dengan kondisi Kota Bandung yang padat dan fakta bahwa RTH saja masih 8 % (padahal jumlah ideal 20%), solusi itu hanya menjadi onggokan berkas tanpa political will yang kuat dari pemerintah.

Pembahasan dari kacamata agama pun kurang terkait langsung dengan persoalan yang sedang dihadapi. Hanya sebagai gambaran umum bagaimana agama memandang pentingnya pengelolaan air yang baik. Pada intinya, air berasal dari Allah, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kehidupan orang banyak, dan jangan sampai air membawa keburukan. Ya, semua orang memang tahu tapi tak semua orang sadar.

Alhasil, diskusi terbuka kemarin ditutup dengan solusi yang memutar-mutar. Hal inipun tidak disangkal oleh Salim Rusli, Ketua LPI sekaligus moderator diskusi. Mungkin, jika dipangkas, apa yang bisa dikerjakan oleh mahasiswa adalah pencerdasan masyarakat bahwa mereka punya hak untuk menuntut pemerintah sekaligus punya kewajiban yang harus dipenuhi. “Bukan sekedar menjadi masyarakat yang nrimo-nrimo saja,” canda Budi Brahmantyo.

Kegiatan Diskusi Terbuka ini akan rutin diadakan LPI 2 kali sebulan. Diskusi semacam ini bertujuan untuk membahas persoalan aktual dari kacamata Islam dan ilmiah. Output dari diskusi memang berupa pewacanaan untuk masyarakat luas. Supaya awet ilmunya, LPI juga menuliskan hasil diskusi dan menerbitkannya dalam jurnal LPI. Selain mengadakan diskusi off air, LPI juga mengasuh Diskusi On Air setiap Jumat pukul 20.00 di Radio MQ FM.

KisahnyaTA [1]

— ketika sedang suntuk di perpus plano

Sebenarnya aku masih heran dengan orang yang bisa berpikir linear saat mengerjakan TA (skripsi). Buatku TA adalah suatu pekerjaan simultan yang nge-loop. Aku tidak bisa menyelesaikan bab 1 tanpa aku memahami bab 2 dan bab 3. Aku tidak bisa mengerjakan analisis tanpa aku mengerti bab 2 dan bab 3. Semuanya saling berkaitan. Tiap babnya sesungguhnya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi.

Lagipula formatnya yang itu itu itu saja membuatnya terasa membosankan untuk dibaca. Aku membaca cukup banyak buku TA. Syukur-syukur kalau si mantan mahasiswa itu pandai menulis, jadi buku TA-nya terasa mengalir. Tapi jika sebaliknya, kita harus mandeg beberapa detik lebih lama untuk memahami maunya si penulis. Susah memang bahasa akademis yaa. Susah dibaca, susah ditulis.

Kadang aku berangan-angan, betapa serunya jika kita menulis TA tanpa format kaku seperti itu. Tetap runtun dan logis dalam pola pikirnya, hanya penulisannya tidak sekaku TA jaman sekarang. Aku tidak mengharapkan di dalam TA bakal ada istilah macam, gue, lo, ya gitu, dibedain, pake insentif, dan segala macam bahasa tak resmi lainnya. Mengikuti EYD itu perlu tapi bukan berarti mengkakukan diri. Bukankah akan menyenangkan jika buku kita bisa dibaca dengan ringan dan mudah dipahami oleh orang lain?

Ayolah, kita pasti sudah mengerti bahwa aspek fun and love itu perlu dipertimbangkan dalam mengerjakan sesuatu. Kalau buku yang kita tulis ataupun yang kita baca tidak terasa menyenangkan, apa jadinya?

Coba bayangkan jika kita membaca suatu naskah akademis yang mengalir. Sebut saja Death & Life of American Cities, Land and The City, dsb. Mereka menulis dengan ringan. Apa yang mereka maksudkan pun tersampaikan. Betapa informatif dan menyenangkannya buku macam itu!

Don’t you want to make (at least) one like that? I want to!

Menuju Pemakmuran Perdesaan

—- The better one. We were asked to write an essay and we did it well. Otsukaresamadeshita, gals! 😀

credits by Khairunnisa, Syifaa Tresnaningrum, & me (still the same formation, hehee)

Dibalik segala romantisme yang ditawarkan perdesaan, tersimpan banyak persoalan yang meliputinya. Persoalan-persoalan tersebut kemudian terakumulasi dan menimbulkan dua permasalahan utama, yaitu kemiskinan dan ketidakmerataan. Penting bagi perencana untuk memahami persoalan sebelum bisa menelurkan solusi yang tepat. Karena itu, esai ini akan diawali dengan memberi gambaran mengenai beberapa persoalan yang ada di Indonesia, lalu beranjak membahas mengapa persoalan-persoalan tersebut timbul. Setelah mendapat gambaran mengenai persoalan perdesaan, kita akan bergeser untuk mengetahui apa saja terobosan yang telah ditempuh untuk menyelesaikan persoalan perdesaan tersebut. Kemudian esai akan diakhiri dengan memberikan review atas solusi-solusi yang telah dijalankan.

Baca selebihnya »

Membangun Desa, Membangun Indonesia

— this one supposed to be a critical review, but we wrote it like an essay. Hahahahaa, this results bad grades. But it’s still worth reading since the idea is good. *hahaha, pembenaran*

credits by Khairunnisa, Syifaa Tresnaningrum, & me.

Desa bukanlah istilah yang tepat untuk menggambarkan kompleksitas perencanaan wilayah. Desa hanyalah suatu unit kecil dalam perdesaan. Namun unit kecil inilah yang menyusun Indonesia menjadi sebuah negara yang begini luas & besar. Dan memang tak bisa dipungkiri, desa yang kita miliki lebih banyak ketimbang kota. Atas dasar inilah desa menjadi suatu yang tak bisa dikesampingkan dalam perencanaan & pengembangan regional bahkan nasional.

Baca selebihnya »

Medan Perang Kamu, Kalian, Aku, & Kita

— our life touch each other in a very unique way. Well, life always has a way to teach us!

Isu Palestina vs Israel akhir-akhir ini sedang panas (bukan sekedar hangat lagi!). Banyak berita bertebaran bahwa kita harus memboikot produk-produk zionisme seperti Nestle, Unilever, Starbucks, Facebook, Google dsb *aww! I don’t think I can*. Di depan masjid kampusku pun tak tanggung-tanggung baligho gede (sebenernya yg namanya baligho pasti gede sie..) berisikan daftar produk yang harus diboikot dipasang. Tiap minggu ada organisasi islam yang rajin mengangkat isu palestina & berdemo di Gedung Sate. Kajian tiba-tiba menjamur. Banyak email masuk menceritakan kekejaman bin kebiadaban Israel, betapa menderitanya sodara-sodara kita di sana, memberi daftar produk. Tak sedikit  pula IM yang menyatakan kita harus membaca ayat-ayat tertentu untuk membantu mereka di sana, mengecam kita jika kita tidak berbuat apapun demi mereka. SMS tak mau kalah ikut menyumbang peran.

semoga ga lebay
semoga ga lebay

Well, semua orang punya pendapat masing-masing. Begitu pula aku, dan aku pikir boikot bukanlah hal utama dalam menanggapi apa yang terjadi di Palestina.

Baca selebihnya »

Merencana dengan Hati (1)

LEMBUR!!

NOOO.. Lembur again di Studio Cilaki45. Tempat awa KP. ha3. Jadi teringat kata-kata “temanku”, “Gila, lo baru kP aja udah ngelembur gitu!” 😀 Konyol.

Eitss.. tapi bukan itu inti tulisanku malam ini!

Intro, di sini aku berperan sebagai mahasiswa KP, membantu proyek Bantek RDTR Kawasan Pusat Kota Sorong, Provinsi Papua barat. Dan senin besok adalah deadline pengumpulan Laporan Antara…

Ketika tadi sedang menganalisis, dalam kondisi dikejar deadline, aku hanya menulis sekenaku. Segala macam mantra yang biasa aku rapal di buku faksis dan rencana studio, itu yang aku tulis. Tiba-tiba terbesit…

Hei! Buku Laporan Antara ini terasa kosong! aku asal ngemeng. Kok merencana ga pake hati banget.. Rasanya ga bicara hati ke hati dengan perwakilan masyarakat di sana tentang gimana kondisi Sorong sesungguhnya, bukan sekedar lewat angka-angka BPS.. tentang gimana sebenarnya mereka menginginkan Sorong mereka ini berkembang..

Ha3. entah aku yang terlalu pake perasaan atw apa..

yah, analisis kita lanjutkan besok,

awa mw plg dulu k kosan tercinta, doakan saya selamat 😀

Workshop SIFA “Bandung disaster education for children”

Numpang ng-iklan…..

What?

Acara workshop mitigasi bencana yang ditujukan untuk adik-adik yang masih duduk di bangku kelas 5-6 SD. Penyampaian dilakukan dengan drama, story-telling, kuis, menggambar, dan diskusi.

Why?

Indonesia adalah Negara yang rawan bencana. Bandung sendiri memiliki ancaman bencana mis. gempa, landslide, banjir. Dan anak-anak adalah pihak yang rawan menjadi korban bencana karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan mereka untuk mengenali dan melindungi diri dari bencana.

Who?

Pelaksana : KIDS – klub mahasiswa Kyoto University yang peduli dengan pendidikan kebencanaan bagi adik SD – & HMP

dari HMP sendiri dibutuhkan min. 12 orang untuk menjadi fasilitator/trainer

Target peserta : 120 murid kelas 5-6 SD dari 6 sekolah berbeda (60 anak per hari)

When?

Pelatihan fasilitator : Jumat, 22.08.2008

Hari-H workshop : Sabtu & Minggu, 23 & 24 Agt 2008, 8 am – 3 pm.

Where?

InsyA di RSG Plano..

image

Banyak banget ide yang berkembang untuk acara ini! Padahal aku pikir ini hanyalah acara kecil, sederhana, dan bersahaja. Ada yang usul:

  1. bikin buletin Citizen bwt adik-adik SD-nya.
  2. kerjasama ma oxfam & impb.
  3. bikin baligho bwt dipasang di  depan kampus.
  4. publikasi lewat radio kids (radio di bandung yang target pendengarnya anak kecil).
  5. bikin kenang-kenangan utk pihak SD.
  6. mengundang media utk meliput acara ini.

Wew!! Pusing awa.. Ok, aku hargai semua ide itu.. (hhmm..dihargai berapa ya?)

Ya suw, pokoknya…………… Mari sukseskan acara ini!!

Hayo, ada yg mau usul apalagi………..?

What it means to be a planner

Q baru sadar saat temenQ (jurusan Teknik Geofisika) berkata, “Wah, mempelajari bumi itu asyik ya!” sambil sumringah dalam keadaan dia sedang blajar bwt uts besok. Saat itu  langsung ketawa miris,heheeee..

Q langsung kepikir plano,”Perasaan Q blm ngrasa seru bgt mplajari tata kota..”

Trus Q tau jawabannya!
Soalnya, Plano tuh kan sebenarnya ilmu yg dikembangkan manusia, kota itu juga bukan secara alamiah dibentuk sndiri ma Allah ‘kan? Pada awalnya kota tuh kan cuma kumpulan manusia yang hidup bersama utk mptahankan diri dan seiring berkembangnya jaman bin terknologi, mereka mulai memiliki spesialisasi dan akhirnya menyebut diri sbg masyarakat kota. Karena itu, dalam kota esp struktur yg ada di kota tsb juga terdapat bnyk kesalahan. Coba lihat, mana ada sie kota tnpa tantangan a.k.a masalah. Dan teori ttg kota sndiri masih slalu berkembang dan dperbarui agar slalu sesuai dg perkembangan jaman..

Memang ya, apa yg Allah ciptakan itu pasti ga bercacat tapi apa yg dibuat oleh manusia pasti msh mngandung kkurangan..Subhanallah ya, Allah keren.

Q smpat kepikiran, Planologi alias Urban and regional Planning alias Perencanaan Wilayah dan Kota tuh merupakan ilmu dimana manusia blajar untuk mjadi ‘dewa’ atw ‘tuhan’.

Eitss,jgn heboh dulu,mksudQ gini.. Qta blajar gimana cara mnata alam(esp.SDA) dan mngatur manusia-yang akhirnya kita sebut dg perencanaan. Allah pun melakukan hal yg sama bukan? Mnata alam dan mngatur Qta, hanya Allah melakukannya dalam lingkup yang jauh lebih luas dibanding yg Qt lakukan. Ya ga, sie?

Ah,mungkin tepatnya ilmu utk mjadi khalifah Allah gitu kali ya..menjadi ‘wakil’Allah di muka bumi
Aamin. Eh,jadi inget, dulu ada teteh yg bilang gini,”blajar planologi itu fardhu kifayah lho!
Wah,subhanallah ya! Duluu Q terinspirasi bgt ma kata”itu:D>

Hhmm…