Setelah Itu

Selama masa TA, menulis adalah sesuatu yang mengerikan buatku. Setiap menulis, rasa takut dan ragu selalu saja menyertai. Bahkan, tulisan TA-ku tidak menunjukkan setitik pun bahwa saya memiliki kegemaran menulis. Oh.

Yah, setelah masa itu berakhir, kembali nge-blog adalah sebuah pembebasan diri. Fiuh. Sekaligus untuk memenuhi permintaan fans setiaku. *bweh*

So, as my coming back, saya ingin berbagi cerita.

Proses TA sejak Juni 2011 adalah sebuah drama, there was climax and twist and many things. Haha. Beneran deh. Dan ini adalah pelajaran terdalam dari drama tersebut. Hikmah yang semoga dapat saya pegang dan laksanakan selama sisa hidup.

This one is for real.

Yeah, selama ini saya punya kecenderungan untuk melarikan diri ketika kenyataan tidak berjalan sesuai harapan. Meskipun alasan atas itu adalah diri saya sendiri. Saya melarikan diri. Dan berharap bahwa things will be better tomorrow. But you know, there is no tomorrow. There’s only today. This ‘today’ determines your tomorrow. Kalo kata Agunk, "Jangan berharap kondisi akan lebih baik, kitalah yang harus lebih kuat."

Dan di masa TA ini, terutama di kondisi mepet penuh tekanan dan deadline ini, saya belajar bahwa tidak seharusnya saya lari. Sepahit apapun. Maju. Jelaskan. Komunikasikan. Pull through. Kuatkan seluruh sel, pikiran, dan mood untuk tetap berjuang memenuhi janji. Do not compromise. Jikalau hasilnya buruk, yang terpenting adalah selama proses, saya sudah berjuang yang terbaik.

Just face it. Life is much easier if I don’t runaway.

There will always be a way to make your dreams come true.

Jadi, yah, siapapun yang membaca tulisan ini, and one day find me repeating the same mistake,, please stab me in the front. Tell me off and get me back on my feet. I’ll be so thankful for that.

KisahnyaTA [1]

— ketika sedang suntuk di perpus plano

Sebenarnya aku masih heran dengan orang yang bisa berpikir linear saat mengerjakan TA (skripsi). Buatku TA adalah suatu pekerjaan simultan yang nge-loop. Aku tidak bisa menyelesaikan bab 1 tanpa aku memahami bab 2 dan bab 3. Aku tidak bisa mengerjakan analisis tanpa aku mengerti bab 2 dan bab 3. Semuanya saling berkaitan. Tiap babnya sesungguhnya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi.

Lagipula formatnya yang itu itu itu saja membuatnya terasa membosankan untuk dibaca. Aku membaca cukup banyak buku TA. Syukur-syukur kalau si mantan mahasiswa itu pandai menulis, jadi buku TA-nya terasa mengalir. Tapi jika sebaliknya, kita harus mandeg beberapa detik lebih lama untuk memahami maunya si penulis. Susah memang bahasa akademis yaa. Susah dibaca, susah ditulis.

Kadang aku berangan-angan, betapa serunya jika kita menulis TA tanpa format kaku seperti itu. Tetap runtun dan logis dalam pola pikirnya, hanya penulisannya tidak sekaku TA jaman sekarang. Aku tidak mengharapkan di dalam TA bakal ada istilah macam, gue, lo, ya gitu, dibedain, pake insentif, dan segala macam bahasa tak resmi lainnya. Mengikuti EYD itu perlu tapi bukan berarti mengkakukan diri. Bukankah akan menyenangkan jika buku kita bisa dibaca dengan ringan dan mudah dipahami oleh orang lain?

Ayolah, kita pasti sudah mengerti bahwa aspek fun and love itu perlu dipertimbangkan dalam mengerjakan sesuatu. Kalau buku yang kita tulis ataupun yang kita baca tidak terasa menyenangkan, apa jadinya?

Coba bayangkan jika kita membaca suatu naskah akademis yang mengalir. Sebut saja Death & Life of American Cities, Land and The City, dsb. Mereka menulis dengan ringan. Apa yang mereka maksudkan pun tersampaikan. Betapa informatif dan menyenangkannya buku macam itu!

Don’t you want to make (at least) one like that? I want to!