Ya! Tulisan ini tentang saya! Saya ingin bercerita bagaimana celetuk-celetuk saya mengayakan bahasa.
Hah, Anda pasti berpikir bahwa saya keterlaluan dan beromong kosong. Klaim ini memang sepihak. Kita semua mengakui bahasa selalu berkembang tetapi kita tidak tahu siapa pengembangnya. Lagipula bahasa berkembang dimulai di tingkat komunitas. Bisa jadi sejumlah orang yang berbeda di lingkungan-lingkungan yang berbeda pula, punya ide yang sama untuk menyebutkan suatu kata dan akhirnya kata itu menjadi sesuatu yang biasa. Tidak masalah. Saya tetap ingin menulis 😀

Redefinisi “Lucu”
Ini adalah pengayaan bahasa pertama yang saya lakukan ketika saya masih kelas 2 SMA. Saya menggunakan kata “lucu” untuk menggantikan kata-kata pujian. Saya memang punya kesulitan untuk mengungkap perasaan positif secara verbal. Ketika saya melihat sesuatu yang bagus ataupun lelaki yang ganteng, saya enggan memuji. Alhasil yang keluar dari mulut saya adalah, “Lucuu!”
Tentu saja, komen itu disambut oleh keheranan teman-teman saya. Berbagai koreksi pun saya dapatkan.
“Lucu? Bagus ini, Nar…”
“Lucu mananya?”
“Lucu? Ketawa doong!”
Seringkali koreksi datang dari pihak lelaki. Sebagai makhluk yang diperbudak logika, mereka mungkin tidak terima ketidaklogisan bagaimana suatu kata bisa lepas sejauh itu dari arti aslinya. Meski banyak kerut dan protes, tapi akhirnya banyak juga yang tertular.
Sekarang, untuk menghindari tercampurnya makna “lucu”, orang-orang berkata”lucu ha ha” untuk lucu yang mengundang tawa dan “lucu” untuk lucu sebagai tanda apresiasi. Lucu, bukan? 😀
Pengembangan penggunaan “Banget”
Seusai les persiapan SPMB di Nurul Fikri, saya dan beberapa teman masih berkumpul untuk membahas suatu rencana pertemuan. “Jam 4 banget??” saya bertanya memastikan.
Sayangnya, pertanyaan itu tidak dibalas dengan jawaban yang memuaskan, malah mereka balik bertanya, “Jam 4 banget? Bahasa apa sih?”
Ada pula yang kemudian berceloteh, “Banget itu bahasa gaul dari sangat. Nah sangat itu digunakan untuk menerangkan kata sifat. Jam 4 bukan kata sifat. Kamu ini gimana sih?”
Seorang lainnya hanya menggeleng-geleng, “Duh, dasar cewek. Pake bahasa kok ga ada yang bener,” begitu mungkin pikirnya menyerah.
Saya tidak tahu bagaimana penerimaan dan perkembangan kata yang satu ini, mengingat saat itu saya sudah di penghujung pertemuan dengan teman-teman Surabaya saya.
Eh, di Bandung, penggunaan “banget” seperti di atas adalah hal yang biasa lho. Tuh kan, bahasa berkembang mulai dari skala hiperlokal.
“Deadliners” tidak ada dalam kamus Inggris
Yang ada adalah procrastinator. Begitulah dunia internasional menyebut orang-orang yang suka menunda pekerjaan. Lalu mengapa saya tidak menggunakan “procrastinator“? Jujur saja, saya baru kenal istilah itu ketika jaman tingkat 2 pas nonton Spongebob. Ok, so how did I come up with deadliners?
Ada masa ketika saya suka sekali dengan desain. Ketika baru masuk kuliah, saya senang mendesain pin dan selalu mencari kata-kata baru untuk dipajang di pin.
Sore itu, di kamar kos, layar komputer saya menyuguhkan tulisan tagline informal planologi “The Few. The Proud. The Planner.” Saat itu pikiran saya dipenuhi dengan menumpuknya deadline tugas-tugas kuliah. Hal ini bukan salah dosen sebenarnya. Para dosen sudah mempertimbangkan berapa lama kiranya waktu yang mahasiswanya butuhkan untuk menyelesaikan tugas. Saya saja yang menundanya hingga nyaris hari terakhir. Sebenarnya (lagi), bukan saya saja yang menunda. Nyaris semua teman-teman se-plano juga menunda!
“Kalo ga deket deadline tuh ga semangat ngerjainnya. Ga ada tekanan. Ga ada motivasi. Otak tuh ga jalan,” alasan teman-temanku.
Masih di depan komputer, saya menghela nafas dan bergumam, “Hhh,, dasar deadliners kita ini..”
Beberapa detik kemudian, “Ahaaa, deadliners! Bagus nih buat di pin!”
Yak. Akhirnya saya mengabaikan tugas kuliah yang menumpuk itu dan membuat desain pin. (Ah, deadliners.. what a guilty pleasure!)
Ketika saya sampaikan ke teman-teman, desain dan istilah “deadliners” mendapat tanggapan positif. Hanya saja karena tugas yang semakin menumpuk dan tidak dapat ditunda, desain tinggallah desain. Tak sempat berwujud nyata. Bahkan desainnya pun sudah tak berjejak, mengingat komputer saya telah diformat ulang bersih.
“Gila”
Saya cuma bosan dengan kata “banget”, “sekali”, “amat”, “betul”. Saya ingin mencari kata lain untuk menggantikan kata-kata penerang adjektif itu. Entah mengapa pilihan saya jatuh ke kata “gila”.
Jadilah saya berkata, “Panas gila,” di cuaca yang terik. “Rame gila,” di shof sholat yang padat. “Macet gila!” ketika lalu lintas Cisitu stagnan. Dan berbagai kegilaan-kegilaan lainnya. Karena pada dasarnya kata “gila” memang berkonotasi negatif, saya pun cenderung menggunakannya untuk menjelaskan situasi-situasi negatif.
Meskipun ada kalanya saya menggunakannya untuk ekspresi positif, seperti;
“Ganteng gila!” “Manis gila!” untuk menggunjing cowok-cowok tampan. (ya, lama-kelamaan saya belajar mengapresiasi orang)
“Mantap gila!” untuk mendeskripsikan film yang bagus atau game yang seru.
Seperti biasa, pada awalnya teman-teman saya pada berkerut dan berkomentar, “Kok gila sih?” Wajar lah. Saya sudah kebal.
— Tulisan ini hanya untuk kesenangan dan canda semata. Tidak ada hak cipta yang diklaim ataupun kesombongan yang terbesit.
Oke, selanjutnya, kata-kata apa lagi yaa yang akan saya gunakan? Hm hm.