Alergi

“Gatel-gatel nih habis makan udang & cumi!” keluh temanku

“Aku alergi ayam,” temanku yang lain mengaku dengan tenang.

Hm, aku bersyukur aku bisa memakan segala yang terhidang (selama halal dan tidak beracun). Padahal ketika aku kecil, aku punya banyak alergi. Aku ingat bagaimana aku dan orang tuaku bolak-balik ke dokter untuk mengurus alergiku. Alergenku pada masa itu antara lain, susu sapi, ayam, telur ayam, dan ikan laut.

Aku masih ingat bagaimana orang tuaku berdebat untuk mengusir alergiku, “Kalo ga diobatin sekarang, ntar makin parah, nanti anak ini ga bisa makan macem-macem pas udah gede!” (Alhamdulillah, aku diberi umur dan bisa mencicipi beragam makanan). Alhasil hampir tiap minggu aku ke dokter, merasakan tetesan-tetesan dingin di lengan untuk uji alergi. Tak lupa puasa makanan yang ‘membahayakan’ dan menegak obat.

Keluhan lain, bengek ikut ambil bagian. Ada lagi, gigiku nylenthang kesana kemari dan perlu dibenahi dengan behel. Nampaknya aku begitu menyusahkan ketika kecil.

Wew. Subhanallah ya. Aku tidak terbayang berapa materi dan tenaga yang sudah dicurahkan orang tuaku untuk merawatku, ketika masih kecil hingga sampai sebesar ini. Hwaa. Allah, terima kasih telah memberiku orang tua yang begitu pengertian dan bertanggung jawab. Aaaa, jadi kangen.

~ untold story 1. harus gitu juga kalo ntar jadi ortu!

Saya!

Ya! Tulisan ini tentang saya! Saya ingin bercerita bagaimana celetuk-celetuk saya mengayakan bahasa.

Hah, Anda pasti berpikir bahwa saya keterlaluan dan beromong kosong. Klaim ini memang sepihak. Kita semua mengakui bahasa selalu berkembang tetapi kita tidak tahu siapa pengembangnya. Lagipula bahasa berkembang dimulai di tingkat komunitas. Bisa jadi sejumlah orang yang berbeda di lingkungan-lingkungan yang berbeda pula, punya ide yang sama untuk menyebutkan suatu kata dan akhirnya kata itu menjadi sesuatu yang biasa. Tidak masalah. Saya tetap ingin menulis 😀

from: cartoostock.com

Redefinisi “Lucu”
Ini adalah pengayaan bahasa pertama yang saya lakukan ketika saya masih kelas 2 SMA. Saya menggunakan kata “lucu” untuk menggantikan kata-kata pujian. Saya memang punya kesulitan untuk mengungkap perasaan positif secara verbal. Ketika saya melihat sesuatu yang bagus ataupun lelaki yang ganteng, saya enggan memuji. Alhasil yang keluar dari mulut saya adalah, “Lucuu!”

Tentu saja, komen itu disambut oleh keheranan teman-teman saya. Berbagai koreksi pun saya dapatkan.
“Lucu? Bagus ini, Nar…”
“Lucu mananya?”
“Lucu? Ketawa doong!”
Seringkali koreksi datang dari pihak lelaki. Sebagai makhluk yang diperbudak logika, mereka mungkin tidak terima ketidaklogisan bagaimana suatu kata bisa lepas sejauh itu dari arti aslinya. Meski banyak kerut dan protes, tapi akhirnya banyak juga yang tertular.

Sekarang, untuk menghindari tercampurnya makna “lucu”, orang-orang berkata”lucu ha ha” untuk lucu yang mengundang tawa dan “lucu” untuk lucu sebagai tanda apresiasi. Lucu, bukan? 😀

Pengembangan penggunaan “Banget”
Seusai les persiapan SPMB di Nurul Fikri, saya dan beberapa teman masih berkumpul untuk membahas suatu rencana pertemuan. “Jam 4 banget??” saya bertanya memastikan.

Sayangnya, pertanyaan itu tidak dibalas dengan jawaban yang memuaskan, malah mereka balik bertanya, “Jam 4 banget? Bahasa apa sih?”

Ada pula yang kemudian berceloteh, “Banget itu bahasa gaul dari sangat. Nah sangat itu digunakan untuk menerangkan kata sifat. Jam 4 bukan kata sifat. Kamu ini gimana sih?”

Seorang lainnya hanya menggeleng-geleng, “Duh, dasar cewek. Pake bahasa kok ga ada yang bener,” begitu mungkin pikirnya menyerah.

Saya tidak tahu bagaimana penerimaan dan perkembangan kata yang satu ini, mengingat saat itu saya sudah di penghujung pertemuan dengan teman-teman Surabaya saya.

Eh, di Bandung, penggunaan “banget” seperti di atas adalah hal yang biasa lho. Tuh kan, bahasa berkembang mulai dari skala hiperlokal.

“Deadliners” tidak ada dalam kamus Inggris
Yang ada adalah procrastinator. Begitulah dunia internasional menyebut orang-orang yang suka menunda pekerjaan. Lalu mengapa saya tidak menggunakan “procrastinator“? Jujur saja, saya baru kenal istilah itu ketika jaman tingkat 2 pas nonton Spongebob. Ok, so how did I come up with deadliners?

Ada masa ketika saya suka sekali dengan desain. Ketika baru masuk kuliah, saya senang mendesain pin dan selalu mencari kata-kata baru untuk dipajang di pin.

Sore itu, di kamar kos, layar komputer saya menyuguhkan tulisan tagline informal planologi “The Few. The Proud. The Planner.” Saat itu pikiran saya dipenuhi dengan menumpuknya deadline tugas-tugas kuliah. Hal ini bukan salah dosen sebenarnya. Para dosen sudah mempertimbangkan berapa lama kiranya waktu yang mahasiswanya butuhkan untuk menyelesaikan tugas. Saya saja yang menundanya hingga nyaris hari terakhir. Sebenarnya (lagi), bukan saya saja yang menunda. Nyaris semua teman-teman se-plano juga menunda!

“Kalo ga deket deadline tuh ga semangat ngerjainnya. Ga ada tekanan. Ga ada motivasi. Otak tuh ga jalan,” alasan teman-temanku.

Masih di depan komputer, saya menghela nafas dan bergumam, “Hhh,, dasar deadliners kita ini..”

Beberapa detik kemudian, “Ahaaa, deadliners! Bagus nih buat di pin!”

Yak. Akhirnya saya mengabaikan tugas kuliah yang menumpuk itu dan membuat desain pin. (Ah, deadliners.. what a guilty pleasure!)

Ketika saya sampaikan ke teman-teman, desain dan istilah “deadliners” mendapat tanggapan positif. Hanya saja karena tugas yang semakin menumpuk dan tidak dapat ditunda, desain tinggallah desain. Tak sempat berwujud nyata. Bahkan desainnya pun sudah tak berjejak, mengingat komputer saya telah diformat ulang bersih.

“Gila”
Saya cuma bosan dengan kata “banget”, “sekali”, “amat”, “betul”. Saya ingin mencari kata lain untuk menggantikan kata-kata penerang adjektif itu. Entah mengapa pilihan saya jatuh ke kata “gila”.

Jadilah saya berkata, “Panas gila,” di cuaca yang terik. “Rame gila,” di shof sholat yang padat. “Macet gila!” ketika lalu lintas Cisitu stagnan. Dan berbagai kegilaan-kegilaan lainnya. Karena pada dasarnya kata “gila” memang berkonotasi negatif, saya pun cenderung menggunakannya untuk menjelaskan situasi-situasi negatif.

Meskipun ada kalanya saya menggunakannya untuk ekspresi positif, seperti;
“Ganteng gila!” “Manis gila!” untuk menggunjing cowok-cowok tampan. (ya, lama-kelamaan saya belajar mengapresiasi orang)
“Mantap gila!” untuk mendeskripsikan film yang bagus atau game yang seru.

Seperti biasa, pada awalnya teman-teman saya pada berkerut dan berkomentar, “Kok gila sih?” Wajar lah. Saya sudah kebal.

— Tulisan ini hanya untuk kesenangan dan canda semata. Tidak ada hak cipta yang diklaim ataupun kesombongan yang terbesit.
Oke, selanjutnya, kata-kata apa lagi yaa yang akan saya gunakan? Hm hm.

Why must there be a raise??

My writing will be short. My question is simple :

Mudik is a tradition and a need for most of us, especially for those who are far away from hometown. To travel, we have 2 choices, get on public transportation such as bus, train, ship, airplane – or by private vehicles.

When we choose to use a public transportation. We will experience the same hard thing every year, which is tusla. Why must there be a tusla (transport fee on iedul fitri)?? It can empty our pockets!

I understand that governments need more efforts to provide the services; the maintenance things, the fuel prices things, etc. But I think it’s way too expensive. No wonder that people choose to go with their own vehicles, whether it’s car or even motorcycles. No wonder that people are willing to jostle and thrust through the crowd to get seats in economic trains. They’ll do anything to have the less expensive way to travel. Anything to gather with their family in town and anything to be back to metropolitan city to work.

Well, others say that because people get an extra salary while iedul fitri. (I know, perhaps their answers are only teasing me)
But..but..but, we, students, don’t get any!

I’ll take an example of train ticket’s price :

Mutiara Selatan : 130.000 –> 150.000 – 225.000

Argo Wilis : 210.000 –>250.000 – 400.000

Turangga :  230.000 –> 250.000 – 400.000

See, the tickets are getting higher but our pocket money is just so so. I can conclude, students are the ones who suffer the most when tusla is being applied.. -__-

Strong-willed Song

Smalane suci dalam pikiran
Smalane benar jika berkata
Smalane tepat dalam tindakan
Smalane dapat dipercaya

When I was a freshmen, joining orientation moments called PeNA (Pekan Pengenalan Almamater), every morning & afternoon I marched through the hall way, sang that song over and over. The song echoed in my heart, forced me to ask myself :
Do I have a pure mind (& heart)?
Do I tell the truth?
Do I do the right thing?
Can I be trusted?
Have I met the qualities they mentioned?
Am I good enough to be a smalane?

That idealist song is like a self-reflection, self-appraisal, muhasabah for me. Until today, everytime I sing that song, I will repeat the same question like in those days, “Do I have the qualities & qualifications to be regard as Smalane?”

I love that feeling. ‘Smalane’ always reminds me that I need to be a better person. Salute for the one(s) who wrote the song.

Smalabaya
Smalabaya

Surabaya oh Surabaya…

It’s been a long time I didn’t visit my hometown. (Well, it’s not really my hometown since I wasn’t born there..). I do forget for how long I didn’t go home.Chotto, why do I suddenly talk about surabaya? Well, I chatted w/ my friend. He told me that he want to be back to surabaya.

Wew! Okay, I admit it, I miss surabaya too. I miss that city and I miss the people who live in it! I’m sure my parents miss me too (ha3).

I’ll reconsider my decision, maybe I’m going to Surabaya this August.

Home sweet home…