Noise In The Dawn

rules of the world (#1)

Few days ago, one rule of the world was finally embedded in my mind. Well, I learned it hard way. Actually the lesson was simple (yet essential) :

People focus on WHO speaks and HOW he/she says it better than WHAT he/she says.

I actually find this rule pretty ridiculous. I mean, come on, how can logical people still think like that! Everyone has his own way to say something, one person says the truth with a nice tone, other says it with a sharp tone. People tend to feel offended in the latter situation. Not only tone they concern about but also who speaks. If someone who succeed advises you how to achieve your dream, you must feel encouraged. Otherwise if someone who fails tells you some tips how to succeed, you must think that the person is only blabbering. You won’t even care the reason why he tells you that although perhaps that person wants to warn you about the upcoming obstacles he once failed and he doesn’t want you to flunk in the same hole. Unfortunately the feeling of being offended & the thought of judging someone like that is already implanted in our society.

People call it; manner. If I don’t follow the manner, people will judge me as ill-mannered and be ashamed of my own family. So I’d better pay attention more on how polite I say something and who I am to say it. Up until yesterday I still stick to my opinion that this rule is foolish, but something changes my mind …

Baca selebihnya »

Sejahtera ~ Rasional

hanya pendapat.

Beberapa hari ini tajuk rencana Kompas membahas sikap permisif masyarakat Indonesia yang menyuburkan bibit teroris di negara ini. Katanya, salah satu alasan mengapa masyarakat tidak mengacuhkan lingkungan sekitar dan bersikap ‘boleh boleh saja’ adalah karena kesejahteraan yang masih rendah. TIngkat kesejahteraan yang rendah ini membuat masyarakat tidak bersikap rasional dalam bertindak maupun menilai peristiwa.

Jadi, ada keterkaitan erat antara hidup sejahtera dan berpikir rasional. Awalnya aku heran, namun akhirnya aku sendiri tidak menyangkal hal ini karena pemikiran-pemikiran ini sempat merasuk juga dalam pikirku. Coba tengok, selama ini aku bisa tenang membaca koran, menonton berita, membeli buku, membaca buku, menjelajah internet, dan belajar – yah, apapun untuk menambah pengetahuan – karena ada kepastian uang bulanan yang mencukupi dari orang tuaku (anggap saja gaji). Hidup jadi tenang, ibadah  jadi nyaman, banyak yang bisa disyukuri, dan diri yang bisa dikembangkan.

Otak vs Perut

Nah, perasaan itu mulai luntur sekarang. Sebentar lagi  aku harus hidup mandiri. Keinginan untuk bekerja (ataupun magang) dan mendapatkan pemasukan menjadi tak terbendung. Kebutuhan untuk mandiri dan survive tumbuh. Di saat seperti ini, yang kupikirkan hanyalah cari magangan, cepat lulus, cepat bekerja, dan memperoleh gaji yang memadai. Bekerja dimanapun tak jadi masalah, bank, tv, konsultan, pu, bappenas, pemkot, dsb. Yang penting aku bisa mendapat kepastian pemasukan memadai, mandiri, dan dapat menolong orang lain. Hal-hal seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan terpinggirkan (misalnya, mencari beasiswa S2). My God! Aku kaget juga bagaimana aku bisa berpikir sestandar dan sedatar itu. Rupanya kepastian dalam keuangan itu penting. *baru merasa memasuki dunia orang dewasa* Kata orang, duit memang bukan segalanya tapi tanpa uang kita tak bisa apa-apa. Ugh. Hate it but it’s undeniable.

Aman

Yah, bagaimanapun rejeki kita sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah. Sekarang tinggal usaha kita untuk menjemput rezeki itu (ya sebagaimana kita berusaha menjemput jodoh). Semoga Allah memudahkanku dalam meraih rezeki dan jodoh itu. Aku percaya apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik untuk kita. Tinggal usaha dan doa kita saja.

Yang Muda, (Semoga) Yang Bijak

—  tulisan ini mencerminkan hanya sebagian kelompok pemuda. No offense.

"Masa depan ada di tangan generasi muda. Hari penuh tantangan akan menjadi tanggung jawab pemuda. Karena itu, kaum muda tak hanya harus kritis, namun SOLUTIF."

Pemuda saat ini berani maju dan bicara. Era kebebasan, kata mereka. Tak ragu mereka menuding dan membongkar kesalahan. Tak jarang dengan lantang meneriakkan apa yang mereka anggap kebenaran. Namun, seringkali sedikit dari mereka yang menyuarakan solusi dan langkah konkret. Ini adalah suatu kehilangan besar bagi kaum muda.

Kritis itu penting. Menyatakan persoalan itu harus. Tapi lebih penting lagi adalah mencari solusi. Jengah  telinga ini mendengar omongan sombong, abstrak, tanpa solusi, dan penuh emosi para pemuda di suatu forum. Banyak dari mereka yang berbicara menggebu-gebu, sedikit dari mereka yang berbicara bijak dan solutif.

gambar dari : http://fraijonpurba.wordpress.com/

Celoteh Pemuda di Suatu Malam

Hal seperti ini terjadi di berbagai sudut hidup, mulai dari himpunan, bem, dan eksternal kampus. Saya beri contoh dalam konteks Pemilu 2009 yang baru saja berlangsung. Ada dari mereka yang berani menyatakan, "Saya tidak bangga mempunyai presiden yang terpilih dengan cara manipulasi!" *melihat kalimat ini, Anda bisa tebak dia memihak partai mana*. Ada pula yang berteriak penuh emosi, "Saya ragu harus menyebut apa yang terjadi di Pemilu 2009 ini sebagai kesalahan atau kecurangan?!". Dan bla bla blaaaa seterusnya sampai berbusa.

Pemerintah (terutama pusat) selalu menjadi sasaran kritik mereka. Padahal ini negara kita bersama, indonesia kita, namun begitu ada persoalan terjadi, semua buru-buru menuding pemerintah sebagai pelaku kesalahan. Tidak mencoba menengok ke dalam diri masing-masing. Takut menemukan kesalahan dalam diri, tidak ingin dicap ‘turut andil salah’, mungkin.

2 pemikiran melayang di kepalaku
1." Heran. Tidakkah mereka capek berteriak-teriak penuh emosi seperti itu?" Mengapa mereka tidak bisa mempersingkat apa yang ingin mereka katakan? Mengapa tidak bisa sopan dalam berbicara? Apa berbicara politik harus keras? Padahal apa yang mereka nyatakan tak jauh berbeda dengan para politikus yang sudah tua-tua itu. Tidak inovatif sebagaimana layaknya pemuda. Apakah mereka hanya mencontek?

2. "Lalu harus bagaimana kita??". Semua orang yang berbicara berhenti pada tahapan pernyataan persoalan. Lha, solusine piyee?? Apa menemukan solusi bukan ranah pemuda? ranah pemerintah yang berkuasa saja?

Alamaaak, saya yakin tidak semua kaum muda seperti itu tipenya. Coba bayangkan jika misalnya 20 tahun ke depan, Indonesia ini dipegang oleh pemuda-pemuda masa kini yang jago mengkritik, jago bicara, gemar menggunakan emosi, nampaknya keadaan negara tidak akan jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Apa itu yang kaum muda inginkan? Mana perubahan dan perbaikan yang dapat diusung?

Negara takkan menjadi baik hanya dengan kritik, tetapi harus disertai solusi. Dan saya yakin pasti ada mereka-mereka yang solutif, tidak penuh emosi, dan tidak memakai topeng. Semoga. Saya yakin para pemuda masih punya waktu untuk memperbaiki diri, mempersiapkan diri menjadi pemimpin bangsa dan bahkan negarawan.

 Agar Saya Tak Menelan Ludah Sendiri..

Yaah, sebenarnya apa yang saya lakukan saat ini juga menyatakan persoalan, jadi supaya saya tidak menelan ludah sendiri, saya harus memberi pandangan mengenai apa yang seharusnya kaum muda (termasuk saya)  lakukan :
1. Saat ingin berbicara, tanyakan dulu pada diri sendiri, "Apakah apa yang akan gw omongin ini berguna, mengandung solusi atau cuma sekedar memenuhi hasrat gw pengen tampil dsb?"
2. Singkat & lugas saat menyatakan persoalan, beri penekanan pada apa yang penting
3. Padat & (boleh) panjang saat menyatakan solusi
4. Jaga intonasi bicara, supaya inti dari omongan kita sampai pada para pendengar
5. Ga usah pake emosi, ga bijak tau.

Yak, akhir kata..
masa depan diraih bukan dengan sekedar kata-kata atau bahkan omong kosong, melainkan dengan tindakan. *ayoo ayooo, nulis mulu juga nie aku, kerja kerja blajaaar!*

Strong-willed Song

Smalane suci dalam pikiran
Smalane benar jika berkata
Smalane tepat dalam tindakan
Smalane dapat dipercaya

When I was a freshmen, joining orientation moments called PeNA (Pekan Pengenalan Almamater), every morning & afternoon I marched through the hall way, sang that song over and over. The song echoed in my heart, forced me to ask myself :
Do I have a pure mind (& heart)?
Do I tell the truth?
Do I do the right thing?
Can I be trusted?
Have I met the qualities they mentioned?
Am I good enough to be a smalane?

That idealist song is like a self-reflection, self-appraisal, muhasabah for me. Until today, everytime I sing that song, I will repeat the same question like in those days, “Do I have the qualities & qualifications to be regard as Smalane?”

I love that feeling. ‘Smalane’ always reminds me that I need to be a better person. Salute for the one(s) who wrote the song.

Smalabaya
Smalabaya

Don’t Plan!

“I have a tendency to surprise myself”

John Grogan.Marley & Me.

That words stung me. It’s amazing to have yourself surprising you. It means you improve! You innovate. You don’t hold back in doing your things. You use all your potential and keep improving. Isn’t that great?

running in the baseball field

That’s how the movie got my attention. I watched Marley and Me while I was having my dinner. It is a story – well, I can say – about an ordinary life yet meaningful. The man is a reporter – and then turn to be – columnist, and his wife is also a feature reporter. It’s a story about their life, their family, and their hyperactive dog – Marley.

Jen, the wife, loves to plan everything whether John, prefers to let things happen then be surprise. But they get along well. They live their life smoothly, well a bit fight can’t be avoided. In the earlier stage of life, they live in a middle-class neighborhood, both of them work in different newspaper. Every morning they read each other’s articles and give comments.

Then after having a baby, they move to a better and safer neighborhood which also costs more -but it’s fine, they can afford it. Every week, John writes 2 – 3 columns, one of them talks about his life and Marley. But in his forty, after having 3 children and live happily, he starts to lose challenges and passions for his work. Jen realizes it and encourages him to move to Philadelpia, where John gets an offer of a position for reporter.

In Philadelphia, when they already have a better living standard, they choose to settle in suburb, give some more space for the kids. Hahahahaaa, I was laughing when I saw that. What an american lifestyle! Many times in the class, the lecturers said that high-class people tend to buy a house in suburb to have a peaceful and space to relax. Ah! Sou da ne. Now I really got what my lecturers mean. (Well, people in Indonesia usually don’t do that kind of thing, they tend to get close to the CBD).

Well, yep, but the most important thing is now I learn that having a plan for your life is good, but prepare to be surprised of what life might bring is better. And I wanna surprise myself! for good things of course.

Plan plan plan

For all this time, I’m a planner type of person. Well, I planned since I was child. I had my first life-map when I was 9 years old. I planned myself to be the best in my elementary, to attend SMP 1, SMA 5, IPB to have my agronomy degree, and go abroad to pursue MSc & PhD majoring agronomy, and also to go Haji. Ah, but at that time I forgot to mention ‘getting married‘. Hehee. (Well, most of them became reality, except the majoring, I took urban & regional planning  instead. And the higher degree things, I hope I can also make it come true in the future). Yup, I plan everything and when things don’t go my way, I got frustrated and then giving up on my plans. Ugh, bad habit.

My friends once said, Life is unpredictable and full of surprise. Yeah, it’s more important to prepare yourself to be surprised than stick to your plan and get frustrated. We, human, can only do our best in the present and Allah will decide the best destiny for us. And most of the time, the best destiny doesn’t match our earlier plan. But I’m sure Allah knows the best. As long as we keep improving, I think it’s fine.

So, it’s free for us to have dreams. It’s important for us to have a plan, but just don’t forget that life will always surprise us in every way. So be prepared. Anyway, that’s what makes life fun-dynamic-challenging-and not boring, isn’t it? 😀

Harga Diri & Kepentingan

Kepentingan siapa yang abadi? Harga diri siapa yang harus dipertahankan?

Hari selasa kemarin koran-koran ramai membahas arah koalisi Golkar. Apakah akan ke Blok M (Megawati) ataukah Blok S (SBY). Sampai saat inipun, sepanjang pemberitaan di koran, Golkar belum menentukan sikap. Dengan perolehan suara terbesar ke-3 dan track record sebagai partai pemenang pemilu 2004 dan partai tertua, tak heran jika Golkar disorot.

Baca selebihnya »

How to Teach Writing Class in Course (2)

This is the second day. it’s time to talk more specific about writing in english.

  1. Greet everyone in class (plus teacher do the absent). Do NOT let the students fill the absent by themselves! C’mon, this is not a lecture class!
  2. Review about their writings previous meeting. Hand them their works.
  3. Ask what writing experience they have.
  4. Ask their opinion about what writing is.
  5. Give them the theories.. brief introduction about writing. bla bla blaaa… Lalalaaa,, the curriculum depends on the ability of the students, not only following what is given by ur upper admission.
  6. Before the class is ended, remind the students that writing has a strong bond with reading. The more u read, the better u write. That’s why.. Give them a weekly task to read and review one article each week. Any articles depends on their interest. The review contains title, topic, writer, the goals of the articles, a short sinopsys, organization of the sentences & paragraph, the vocabularies and dictions student learns from it, etc.

~ Then each week spare some 30 minutes to discuss 2 – 3 articles that students bring.

~ Alternative task : blogging in english

Well, after all, the most important things are :

Just keep the class interactive and active so that the students won’t get bored.

Be prepared, don’t let urself looked ridiculous in front of ur students. It’s a sin and the students won’t respect u anymore.

Menuju Pemakmuran Perdesaan

—- The better one. We were asked to write an essay and we did it well. Otsukaresamadeshita, gals! 😀

credits by Khairunnisa, Syifaa Tresnaningrum, & me (still the same formation, hehee)

Dibalik segala romantisme yang ditawarkan perdesaan, tersimpan banyak persoalan yang meliputinya. Persoalan-persoalan tersebut kemudian terakumulasi dan menimbulkan dua permasalahan utama, yaitu kemiskinan dan ketidakmerataan. Penting bagi perencana untuk memahami persoalan sebelum bisa menelurkan solusi yang tepat. Karena itu, esai ini akan diawali dengan memberi gambaran mengenai beberapa persoalan yang ada di Indonesia, lalu beranjak membahas mengapa persoalan-persoalan tersebut timbul. Setelah mendapat gambaran mengenai persoalan perdesaan, kita akan bergeser untuk mengetahui apa saja terobosan yang telah ditempuh untuk menyelesaikan persoalan perdesaan tersebut. Kemudian esai akan diakhiri dengan memberikan review atas solusi-solusi yang telah dijalankan.

Baca selebihnya »

Membangun Desa, Membangun Indonesia

— this one supposed to be a critical review, but we wrote it like an essay. Hahahahaa, this results bad grades. But it’s still worth reading since the idea is good. *hahaha, pembenaran*

credits by Khairunnisa, Syifaa Tresnaningrum, & me.

Desa bukanlah istilah yang tepat untuk menggambarkan kompleksitas perencanaan wilayah. Desa hanyalah suatu unit kecil dalam perdesaan. Namun unit kecil inilah yang menyusun Indonesia menjadi sebuah negara yang begini luas & besar. Dan memang tak bisa dipungkiri, desa yang kita miliki lebih banyak ketimbang kota. Atas dasar inilah desa menjadi suatu yang tak bisa dikesampingkan dalam perencanaan & pengembangan regional bahkan nasional.

Baca selebihnya »